Penjelasan Mengenai Penghapusan Klasifikasi Beras Premium dan Medium
Dalam rapat kerja yang diadakan oleh Komisi IV DPR RI, Ketua Komisi IV Siti Hediati Hariyadi atau lebih dikenal sebagai Titiek Soeharto menyampaikan kekhawatirannya terkait rencana pemerintah untuk menghapus klasifikasi beras premium dan medium. Ia meminta penjelasan langsung dari Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengenai alasan di balik kebijakan tersebut. Raker ini dilaksanakan pada hari Kamis (20/8/2025) di Gedung DPR RI dan disiarkan melalui saluran YouTube TV Parlemen.
Titiek menanyakan secara langsung mengenai kebijakan harga beras yang akan disatukan menjadi satu harga. “Pak Menteri, apa tujuan dari kebijakan ini? Banyak orang bertanya tentang rencana Bapak,” ujarnya dalam rapat tersebut.
Subsidi Pangan yang Besar Jumlahnya
Dalam pembahasan tersebut, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menyebutkan bahwa wacana penghapusan klasifikasi beras telah dibahas dalam beberapa kali rapat koordinasi terbatas. Ia menyinggung angka subsidi pangan yang mencapai ratusan triliun rupiah, dengan beras menjadi komponen terbesar dalam anggaran tersebut.
Amran menjelaskan bahwa jika anggaran subsidi tersebut dibagi berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sekitar 48 persen dari total penduduk Indonesia memperoleh beras premium atau medium. Dengan demikian, sebagian besar dana negara digunakan untuk subsidi beras, yang nilainya diperkirakan mencapai sekitar Rp60 triliun.
Untuk menjaga stabilitas harga beras, pemerintah melakukan intervensi melalui mekanisme harga eceran tertinggi (HET) dan harga pembelian pemerintah (HPP). Amran menegaskan bahwa langkah ini penting agar harga beras tetap terkendali dan tidak mengganggu masyarakat.
Perbandingan dengan Harga Beras di Jepang
Amran kemudian memberikan contoh kondisi saat ini, di mana bahkan kenaikan harga yang relatif kecil saja sudah memicu ketidakstabilan. Ia juga menyebutkan bahwa harga beras di Jepang mencapai sekitar Rp100 ribu per kilogram. “Sekarang ini baru naik sedikit saja sudah heboh. Di Jepang, harganya sudah mencapai Rp100 ribu per kilogram,” ujar Amran.
Tanggapan dari Titiek Soeharto
Tanggapan cepat langsung datang dari Titiek Soeharto. Ia menegaskan bahwa kondisi Indonesia tidak bisa dibandingkan dengan Jepang, terutama karena perbedaan tingkat pendapatan per kapita antara kedua negara. “Tidak bisa dibandingkan dengan Jepang. Income per kapita kita juga berbeda, Pak,” jawab Titiek.
Proses Pembahasan Kebijakan Baru
Menanggapi hal tersebut, Amran kembali menegaskan bahwa kebijakan baru mengenai beras masih dalam tahap pembahasan. Ia menyebutkan bahwa pihaknya telah melakukan empat kali rapat maraton bersama Badan Pangan Nasional (Bapanas), namun belum ada keputusan final.
Amran menekankan bahwa pemerintah ingin seluruh beras yang mendapat subsidi negara tetap terkontrol. Selain itu, keuntungan para pengusaha juga harus diperhatikan, dengan aturan yang ketat agar tidak terjadi pelanggaran kualitas beras di pasar.
“Kami butuh masukan hari ini karena Bu Ketua sudah bertanya,” ucap Amran dalam kesempatan tersebut.
Tantangan dan Perspektif Ke depan
Dalam konteks yang lebih luas, kebijakan ini menimbulkan berbagai pertanyaan tentang dampak ekonomi dan sosial yang akan terjadi. Terlebih, penghapusan klasifikasi beras dapat memengaruhi konsumen, produsen, serta sistem distribusi beras di tanah air.
Selain itu, isu beras oplosan juga menjadi topik hangat. Meski beras oplosan dianggap layak konsumsi, Menteri Pertanian meminta agar harga beras di pasaran diturunkan agar tidak memberatkan masyarakat.
Dari segi produksi, pemerintah juga menegaskan bahwa cadangan beras SPHP (Sertifikat Produksi Hemat Pangan) mencapai 1,3 juta ton hingga Desember 2025. Hal ini menunjukkan upaya pemerintah dalam menjaga ketersediaan beras nasional.
Dengan berbagai pertimbangan tersebut, kebijakan baru mengenai klasifikasi beras masih memerlukan analisis mendalam dan masukan dari berbagai pihak agar dapat diimplementasikan secara efektif dan adil.