InfoMalangRaya.com– Myanmar menyalip Suriah tahun lalu menjadi negara dengan korban ledakan ranjau darat atau bahan peledak sisa perang terbanyak di dunia.
Laporan yang dirilis International Campaign to Ban Landmines memperingatkan bahaya maraknya penggunaan ranjau di banyak daerah di Myanmar dalam konflik bersenjata yang pecah sejak kudeta militer Februari 2021.
Pada tahun 2023, jumlah korban ledakan ranjau di Myanmar melebihi Suriah, yang sebelumnya selama tiga tahun berturut-turut menduduki peringkat teratas. Ukraina dan Afghanistan menyusul di posisi ketiga dan keempat.
Menyusul kudeta, banyak kelompok-kelompok masyarakat yang mengusung senjata dan membentuk pasukan pertahanan masyarakat guna menghadapi kebrutalan pasukan junta militer dan menuntut dipulihkannya pemerintahan demokratis. Kelompok-kelompok pemberontak etnis – yang sudah lebih lama dibentuk dan berpengalaman mengahadapi pasukan militer – adakalanya bekerja sama dengan kelompok-kelompok masyarakat bersenjata yang baru dibentuk.
Laporan tersebut, Landmine Monitor 2024, mengatakan bahwa ranjau darat dipakai baik oleh tentara junta maupun kelompok-kelompok bersenjata di Myanmar.
Tentara junta kerap menjadikan penduduk sipil, termasuk anak-anak, sebagai “pemandu” yang berjalan di depan ketika melewati kawasan rawan ranjau. Dengan demikian, tentara menggunakan warga sipil dan anak-anak sebagai tameng manusia.
Tidak hanya itu, laporan itu mengatakan bahwa warga sipil (petani) diancam untuk membayar ganti rugi apabila hewan ternak mereka ada yang tidak sengaja menginjak dan meledakkan ranjau yang dipasang tentara junta. Dalam satu kasus, tentara menuntut seorang petani pemilik sapi yang terluka akibat ledakan ranjau supaya membayar 1,5 juta kyat (sekitar $714.97).
Dr Yeshua Moser-Puangsuwan, seorang peneliti yang ikut menyusun laporan itu, mengatakan pasukan pemberontak etnis dan kelompok-kelompok bersenjata yang dibentuk masyarakat juga diduga menggunakan ranjau. Mereka meletakkannya di daerah perkotaan yang dikuasai tentara junta, kerap disamarkan sebagai bungkusan hitam.
“Bungkusan itu kemudian terpungut oleh tukang sampah atau pemulung barang bekas,” katanya, seperti dilansir The Guardian Selasa (19/11/2024).
Parahnya, alat peledak itu bukan dipasang di lokasi target militer, tetapi dipasang di kawasan umum, di lokasi sipil, dengan target orang-orang yang bekerja untuk junta setelah kudeta.
Keseluruhan, Landmine Monitor mencatat ada 1.003 korban ledakan ranjau di Myanmar tahun lalu. Oleh karena tidak ada pelacakan kasus dan pencatatan akurat, maka kemungkinan jumlah sebenarnya lebih banyak, kata Moser-Puangsuwan.
Di Suriah tahun lalu tercatat 933 korban ledakan ranjau dan alat peledak sisa perang. Sementara di Afghanistan dan Ukraina masing-masing mencatatkan jumlah lebih dari 500.
Secara global, jumlah warga sipil yang menjadi korban ledakan ranjau dan alat peledak sisa perang mencapai 84 persen (4.335) di mana situasi korban sipil dan militer sulit diketahui pasti atau tidak jelas. Anak-anak mencakup 37 persen (1.498) dari total korban sipil berdasarkan usia.*