InfoMalangRaya.com—Sebanyak 61 persen remaja Indonesia pernah berpikir untuk mengakhiri hidup, sehingga menjadikan masalah kesehatan mental remaja berada dalam kondisi darurat. Hal itu menyoroti adanya tekanan dari berbagai faktor yang memicu perasaan putus asa.
“Dari berbagai faktor, internal maupun eksternal, remaja putus asa, dan tidak berdaya. Masala ini menuntut perhatian serius dan penangan komperehensif,” kata Dosen Psikologi Universitas Gunadarma, M. Noor Rochman Hadjam, dikutip RRI, Senin (26/8/2024).
Menurut dia, kepribadian yang rapuh menjadi faktor awal depresi. Adapun perasaan tidak berdaya dan memiliki harapan yang membuat munculnya keinginan untuk mengakhiri hidup.
M. Noor menilai, selain rapuhnya mental remaja, faktor eksternal lain seperti gaya hidup hedonisme dan tekanan sosial menjadi penyebabnya. Terutama media sosial yang berperan besar dalam meningkatkan risiko depresi di kalangan remaja.
“Kemudahan akses, keinginan untuk memenuhi standar sosial yang tinggi sering kali berbenturan dengan kondisi ekonomi yang tidak mendukung. Hal ini dapat menyebabkan rasa keputusasaan dan tekanan mental pada remaja,” ucapnya.
M. Noor menjelaskan, anak muda sekarang terbiasa mendapatkan sesuatu hanya secara instan, tidak mau melalui suatu proses. “Anak muda serang maunya instan, tidak mau menunda kepuasan melalui proses, sedangkan untuk mendapatkan uang tidak mudah,” ujarnya mengakhiri perbincangan.
Mental Toxsic
Riset Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) bersama University of Queensland di Australia dan Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health di Amerika Serikat (AS), tahun 2022 menunjukkan satu dari tiga remaja Indonesia memiliki masalah kesehatan mental sementara satu dari dua puluh remaja Indonesia (sekitar 5.5%) memiliki gangguan mental dalam 12 bulan terakhir.
Angka ini setara dengan 15,5 juta dan 2,45 juta remaja. Survei kesehatan mental nasional ini adalah pertama yang mengukur untuk gangguan mental pada remaja 10 – 17 tahun di Indonesia.
Remaja dalam kelompok ini adalah remaja yang terdiagnosis dengan gangguan mental sesuai dengan panduan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Edisi Kelima (DSM-5) yang menjadi panduan penegakan diagnosis gangguan mental di Indonesia.
Menurut Aktivis Kesehatan Mental Renggi Ardiansyah, salah satu alasan mengapa laki-laki lebih banyak melakukan percobaan bunuh diri adalah adanya stigma toxic masulinity.
“Toxic masculinity di mana laki-laki dipaksa untuk meredam setiap emosi yang dirasakan, bahwa laki-laki harus selalu baik baik saja,” kata Renggi dikutip Kompas.
Toxic masculinity merupakan stigma bahwa laki-laki harus tangguh dan dapat menahan emosi apa pun yang dirasakannya.*