Surabaya (IMR) – Rencana Pemerintah mewajibkan pencampuran Bahan Bakar Minyak (BBM) dengan bioetanol 10 persen (E10) menuai kekhawatiran publik soal dampak pada mesin kendaraan.
Namun, Guru Besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Prof. Bambang Sudarmanta memastikan penggunaan E10 relatif aman bagi performa kendaraan.
Bambang bahkan menjamin, performa kendaraan baru akan mengalami penurunan jika kadar campuran bioetanol mencapai 15 hingga 20 persen.
“Pencampuran 5 hingga 10 persen bioetanol pada bensin relatif tidak mengurangi performa daya dari kendaraan. Baru pada kadar 15 hingga 20 persen, performa mulai menurun,” ungkap Manajer Senior Science Techno Park (STP) Klaster Otomotif ITS ini, Jumat (7/11/2025).
Bambang menjelaskan, bioetanol (C₂H₅OH) adalah bahan bakar alternatif yang potensial, terbarukan, dan ramah lingkungan.
Sifatnya yang karbon netral, emisi CO₂ yang dihasilkan kembali diserap oleh tanaman bahan baku seperti tebu dan singkong, menjadikan bioetanol solusi untuk menekan emisi dan memperkuat ketahanan energi nasional.
Keunggulan lain, bioetanol memiliki angka oktan tinggi, sekitar 108 hingga 120. Nilai ini membuat pembakaran lebih efisien dan menekan risiko knocking pada mesin.
“Mesin dapat bekerja lebih stabil saat menerima tekanan dan suhu yang tinggi,” terangnya.
Meski demikian, Profesor Bambang tidak menampik kekhawatiran masyarakat soal kesesuaian E10 di iklim tropis.
Sifat higroskopis (mudah menyerap air) bioetanol memang menjadi tantangan. Sifat pelarut dan kecenderungan teroksidasi juga berpotensi menyebabkan korosi pada logam dan bahan karet dalam sistem bahan bakar kendaraan lama.
Namun, risiko tersebut dapat dihindari.
“Maka diperlukan adaptasi material dan perawatan sistem bahan bakar yang tepat guna mempertahankan kualitasnya. Selama penanganannya benar, risiko penurunan mutu bisa dihindari,” tegasnya.
Bambang menambahkan, bioetanol memang memiliki nilai kalor 35 persen lebih rendah dibanding bensin, yang berarti energi hasil pembakaran sedikit lebih kecil. “Namun efeknya tidak terlalu signifikan pada kadar campuran rendah hingga 10 persen,” ujarnya.
Melihat potensi dan tantangan ini, Bambang menilai implementasi E10 harus disiapkan secara menyeluruh.
Persiapan meliputi pasokan bahan baku yang berkelanjutan, teknologi pencampuran dan penyimpanan yang terjamin, dan sistem distribusi yang efektif.
“Setiap tahap harus diawasi dengan ketat agar mutu bahan bakar tetap stabil,” pungkas Kepala Pusat Unggulan Iptek Sistem dan Kontrol Otomotif (PUI-SKO) ITS periode 2020 – 2022 ini. [ipl/ian]







