Kebijakan pemerintah untuk mencampurkan 10% etanol ke dalam bahan bakar minyak (BBM) dinilai tidak menjawab akar persoalan emisi karbon di Indonesia.
Manajer Advokasi, Kampanye, dan Komunikasi Pantau Gambut, Wahyu Perdana, langkah tersebut hanya memindahkan masalah dari satu sektor ke sektor lain, tanpa mengubah pola konsumsi energi.
“Kalau pemerintah serius mau mengurangi emisi, harusnya fokus ke penguatan transportasi publik, bukan malah memperluas penggunaan energi yang mendorong konsumsi bahan bakar,” kata Wahyu kepada Infomalangraya.com, Senin (13/10).
Ia menegaskan, solusi iklim seharusnya dirancang dengan pendekatan berbasis hak masyarakat luas seperti penyediaan lebih banyak transportasi publik, bukan semata hanya ekonomi atau keuntungan bisnis.
Pantau Gambut juga mengingatkan bahwa kebijakan energi seperti campuran etanol kerap mengabaikan biaya ekologis yang sebenarnya sangat besar. Pemerintah, kata Wahyu, jarang menghitung total pengeluaran untuk penanganan bencana akibat kerusakan lingkungan.
“Sekali water bombing saja untuk memadamkan kebakaran hutan bisa menelan biaya lebih dari seratus juta rupiah. Padahal setiap musim kemarau, terutama Juli sampai September, risiko kebakaran hutan dan lahan selalu meningkat. Di tahun 2025 ini saja, jumlah hotspot di kawasan gambut naik empat kali lipat dibanding 2023,” tambahnya.
Sebelumnya, pemerintah tengah mengkaji penerapan Bioetanol 10% (E10) di Indonesia. Bioetanol merupakan bahan bakar minyak (BBM) yang dicampur dengan etanol. Etanol berasal dari tumbuhan seperti tebu atau jagung, sehingga lebih ramah lingkungan dibandingkan bahan bakar fosil murni. Saat ini, tingkat campuran BBM dan etanol di Indonesia baru mencapai 5%, seperti yang digunakan dalam produk Pertamina Pertamax Green 95.
Kebijakan ini sendiri dikhawatirkan dapat memicu deforestasi karena akan mendorong perluasan lahan untuk menanam tanaman bahan baku bioetanol seperti tebu atau singkong. Hal ini berpotensi memperparah konflik lahan dengan masyarakat adat, seperti yang terjadi di beberapa wilayah seperti Merauke, Papua Selatan.