InfoMalangRaya.com | IZZUDDIN adalah ulama yang berwibawa di hadapan penguasa dan dicintai oleh rakyatnya. Para penguasa Mesir tidak berani menyelisihi permintaan beliau. Sekali menentang, maka kekuasaan mereka akan terancam. Di Mesir, di saat semua orang merayakan hari raya, tanpa diundang, Izzuddin bin Abdissalam (660 H) mendatangi benteng.
Beliau menyaksikan pasukan berbaris sedang mengelilingi rajanya, yang sedang menemui para penghuni istana, dengan pakaian kebesaran yang biasa dipakai oleh para penguasa Mesir saat itu.
Dalam situasi yang demikian khidmat, Syeikh Izzuddin memanggil Sang Sultan dengan suara tinggi; ”Wahai Ayub! Apa jawabanmu kelak ketika Allah mengatakan kepadamu,’Bukankah kau telah Kuberi kekuasaan di Mesir, akan tetapi kau lantas menghalalkan khamr?’”
Sultan menjawab; ”Apa ini terjadi?”
”Iya, kedai Fulan telah menjualnya dan menjual barang-barang haram yang lainnya, sedangkan kau lalau karena kenikmatan kekuasaan, ” jawab Izzuddin, dan pasukan yang mengelilingi sultan pun ikut terdiam tidak berkutik.
”Itu sudah ada sejak zaman ayah kami,” balas Sultan.
”Engkau termasuk mereka yang berkata; “Sesungguhnya kami mendapati ayah-ayah kami mengikuti suatu ajaran,’ jawab ulama yang bergelar Syaikh Al Islam ini.
Akhirnya, Sultan Shalih Najmuddin Ayub mengeluarkan perintah untuk menutup kedai tersebut.
Kabar ini tersiar di seluruh penjuru Mesir, hingga murid beliau Syaikh Abu Abdullah Muhammad An-Nu’man mendengarnya, hingga ia bertanya, bagaimana gurunya itu berani melakukannya, tanpa ada rasa takut.
”Wahai anakku, aku melihat darinya ada perasaan bahwa dirinya terhormat, maka harus aku merendahkannya, agar kesombongannya tidak mencelakai dirinya sendiri.”
Izzuddin juga menyampaikan bahwa Allah telah memberikan kepadanya kewibawaan, hingga para penguasa tidak berdaya di hadapannya.
Peristiwa selain itu, yang juga disebutkan dalam Thabaqat As Syafi’iyah (8/211-217), terulang kembali, setelah bangsa Tatar memporak-porandakan Baghdad, mereka hendak memasuki Bumi Syam yang berjarak tidak terlalu jauh dari Mesir.
Saat itu, pasukan Mesir ketakutan, hingga kerajaan meminta saran dari Izzuddin.
Akhirnya, beliau menyampaikan sarannya,”Kalian harus keluar, saya jamin, kalian memperoleh kemenangan”.
”Uang anggaran kami sedikit, kami perlu berhutang kepada para pedagang,” kata Sultan.
”Kau kumpulkan perhiasan dari para isterimu, demikian juga para pejabat, menyerahkan emas yang mereka miliki terlebih dahulu, baru jika itu tidak cukup, silahkan meminjam,” jawab Izzuddin.
Akan tetapi, penguasa masih berlambat-lambat untuk melakukan penyerangan. Mereka menginginkan peperangan dilakukan setelah hari raya. Tapi, bukan Syeikh Izuddin kalau harus diam saja, beliau meminta secara tegas agar penyerangan dilakukan pada bulan Ramadhan.
Hingga akhirnya, pasukan keluar Mesir di saat bulan suci berlangsung.
Akhirnya mereka bertemu pasukan Tatar di desa Ain Jalut, peperangan dasyat terjadi. Di sanalah Tatar diporak-porandakan, sedangkan pemimpinnya dihukum pancung, dan eksapansi pasukan brutal itu berakhir di desa ini.
Adalagi, peristiwa yang menunjukkan bahwa Syaikh Izzuddin lebih berkuasa daripada para sultan itu sendiri. Setelah Syaikh Izzuddin mengetehui bahwa beberapa pejabat ternyata masih berstatus budak, beliau mengeluarkan fatwa bahwa mereka harus dimerdekakan terlebih dahulu dengan harta baitul mal, sehingga mereka berhak untuk melakukan tugas.
Kontan fatwa ini membuat mereka, apalagi Wakil Sultan, termasuk pihak yang disebutkan Izzuddin. Walhasil, mereka menolak mentah-mentah ajakan murid Hafidz Ibnu Asakir ini.
Mendengar kabar itu, Syeikh Izzuddin berencana ke luar dari Mesir menuju Syam beserta keluarganya dengan mengendarai beberapa ekor keledai. Akan tetapi semua penduduk mencegahnya, anak-anak, para wanita, serta para pedagang keluar, mereka menginginkan agar Syeikh Izzuddin tetap tinggal di Mesir.
Mendengar kabar demikian, Sultan dengan kendaraannya sendiri segera berangkat untuk menyusul Syaikh Izzuddin. ”Kalau dia sampai keluar Mesir, kekuasaanmu bisa segera jatuh!,” kata beberapa pihak kepada Sultan.
Akhirnya, Sultan sendiri memohon agar ulama Syafi’i ini tetap tinggal di Mesir. Selanjutnya, semua pajabat yang dipandang masih sebagai budak, dimerdekakan melalui ulama ini, dengan harta yang tidak sedikit dari baitul mal.
Walhasil, selama penulis kitab Qawaid Al Ahkam fi Mashalih Al Anam ini masih hidup, para penguasa tidak mampu berbuat apa-apa. Sehingga ketika beliau wafat dan jenazahnya diangkat melewati benteng, Sultan Dhahir Bebres mengatakan; ”Hari ini aku mendapat kewenangan penuh atas kekuasaan, karena syaikh ini, jika mengatakan kepada manusia, ’Jangan mentaati dia!’ Maka kakuasaan benar-benar akan lepas dariku,” katanya.*
Leave a Comment
Leave a Comment