InfoMalangRaya.com—Pelajar perempuan Afghanistan menuntut Pemerintahan Imarah Islam Afghanistan, yang dikuasai Taliban untuk membuka kembali gerbang universitas. Satu tahun lalu, tepatnya pada 20 Desember, keputusan cabinet Afghanistan telah menangguhkan mahasiswa perempuan masuk kampus.
Sepanjang tahun ini, anak perempuan tidak pernah tinggal diam terhadap larangan pendidikan dan menyatakan penolakan mereka terhadap pembatasan tersebut dengan berbagai cara.
Namun, ketidakfleksibelan Imarah Islam terhadap kebebasan perempuan dan kurangnya tindakan praktis dari komunitas internasional telah meningkatkan kekecewaan.
Salim Paigeer, Ketua Partai Komitmen Intelektual Afghanistan dalam sebuah wawancara dengan Khaama Press, mengatakan bahwa pencabutan pendidikan bagi anak perempuan berdampak buruk pada kehidupan masyarakat Afghanistan.
“Anak perempuan tidak belajar hanya untuk menjadi melek huruf, namun mereka belajar untuk memainkan peran yang berharga di masa depan Afghanistan,” ujarnya.
Paigeer menyebut larangan yang terus menerus terhadap anak perempuan untuk masuk universitas adalah sebuah ‘bencana’.
Menurut UNESCO, jumlah mahasiswi adalah lima ribu pada tahun 2001, dan angka ini mendekati seratus ribu pada tahun 2021, namun pada tahun 2023 jumlahnya turun menjadi nol.
Di sisi lain, Misi Bantuan PBB di Afghanistan (UNAMA) dalam salah satu laporannya menyatakan bahwa akibat tidak mendapat pendidikan, anak perempuan menghadapi pernikahan dini dan pernikahan paksa.
Sementara itu, anak-anak perempuan, yang baru saja berulang tahun dicabut pendidikannya, meminta Imarah Islam untuk membuka kembali gerbang universitas bagi mereka.
Pariwush, seorang mahasiswa ekonomi di Universitas Bamiyan, berbicara kepada Khaama Press, mengatakan bahwa Taliban harus mempertimbangkan kembali keputusannya untuk menutup universitas bagi anak perempuan dan mengizinkan mereka untuk belajar.
“Pemerintah saat ini harus mengurangi kemarahannya dan mempertimbangkan kembali masalah ini. Melanjutkan pendidikan kita penting dalam keadaan apa pun. Kami tidak masalah berhijab, yang penting cukup ikut belajar di kelas saja,” ujarnya.
Samira Gohari, mahasiswi lainnya yang sekaligus belajar hukum, ilmu politik, dan jurnalisme di dua universitas, kini menuntut otoritas Imarah Islam membuka kembali universitas bagi perempuan.
Namun, juru bicara Kementerian Pendidikan Tinggi Imarah Islam belum memberikan penjelasan, mengatakan bahwa kehadiran anak perempuan di universitas masih ditangguhkan ‘sampai pemberitahuan lebih lanjut’.
Sementara itu, beberapa anak perempuan yang tidak dapat melanjutkan pendidikan di universitas, akhirnya beralih ke kelas online atau pembelajaran jarak jauh.
‘Women’s Online University’ adalah salah satu platform online yang memiliki lebih dari 14.000 mahasiswi yang terlibat dalam berbagai bidang studi.
Menurut laporan UNAMA, akibat masih adanya penangguhan pendidikan, anak perempuan kini beralih pada pernikahan dini, aktivitas menjahit, menyulam, dan membuat kerajinan tangan.*
Leave a Comment
Leave a Comment