Pengalaman Pembeli Rumah di Perumahan Srimaya yang Belum Mendapatkan Sertifikat
Pembelian rumah tidak selalu berjalan mulus, terutama ketika sertifikat tanah belum diberikan oleh pengembang. Hal ini dialami oleh Khoirun Nisa, seorang perawat dari Sidoarjo, yang membeli rumah di Perumahan Srimaya, Desa Ngijo, Kecamatan Karangploso, Kabupaten Malang. Ia menghabiskan dana sebesar Rp 662 juta untuk membeli properti tersebut. Namun, hingga tiga tahun setelah pembayaran lunas, ia masih belum mendapatkan sertifikat tanah.
Khoirun memilih sistem cicilan langsung kepada developer, bukan melalui bank. Dengan harga awal akad sebesar Rp 655 juta, ia membayar cicilan secara bertahap. Setelah rumah selesai dibangun, ia hanya menerima surat pemesanan rumah, bukan sertifikat resmi. Hal ini menimbulkan kekhawatiran terhadap status kepemilikan tanah dan potensi masalah di masa depan.
Menurut kuasa hukum Khoirun, Antonius Dedy, hingga saat ini Khoirun belum menerima SHM (Surat Hak Milik), SHGB (Surat Hak Guna Bangunan), atau AJB (Akta Jual Beli) yang ditandatangani oleh notaris. Masalah ini juga dialami oleh 11 pembeli lainnya yang memiliki pengalaman serupa. Salah satunya adalah Handy Ardiansyah, yang membeli rumah seharga Rp 455 juta dengan sistem cicilan inhouse. Meskipun sudah melunasi pembayaran, ia juga belum mendapatkan sertifikat.
Pembeli-pembeli ini telah beberapa kali menghubungi pihak pengembang. Mulai dari datang langsung ke kantor marketing hingga mengirimkan surat somasi. Namun, jawaban yang diterima tidak memberikan kepastian. Menurut Dedy, mereka selalu dihadapkan pada karyawan yang tidak bisa memberikan kejelasan. Bahkan, hingga kini, para pembeli belum pernah bertemu langsung dengan direksi PT Dwirantha Karya Nusantara, pengembang perumahan tersebut.
Penjelasan dari Pengacara Perumahan Srimaya
Didik Lestariyono, pengacara Perumahan Srimaya, membantah klaim bahwa ada masalah besar dalam pemberian sertifikat. Menurutnya, setiap rumah memiliki sertifikat yang tersedia. Namun, sertifikat belum diserahkan karena sedang dalam proses pembuatan akta jual beli (AJB).
“Proses pembuatan AJB membutuhkan pajak. Kami sedang menyiapkan segala dokumen, tapi tidak lama lagi akan selesai,” ujar Didik. Ia menjelaskan bahwa perumahan yang dibangun oleh kliennya terdiri dari sekitar 300 unit. Sebagian besar pembeli telah menerima sertifikat, hanya sebagian kecil yang masih dalam proses penyelesaian.
Meski demikian, banyak pembeli merasa khawatir karena proses yang lambat dan kurang transparansi dari pengembang. Mereka meminta kejelasan dan kepastian agar dapat menghindari risiko hukum di kemudian hari. Beberapa dari mereka bahkan mempertimbangkan langkah hukum lebih lanjut jika masalah ini tidak segera diselesaikan.
Tantangan dalam Proses Pemilikan Tanah
Masalah seperti ini seringkali muncul karena kurangnya pengawasan terhadap pengembang. Banyak pembeli yang tidak menyadari risiko yang mungkin terjadi jika sertifikat tidak segera diberikan. Selain itu, adanya sistem pembelian tanpa melibatkan bank membuat pembeli lebih rentan terhadap kesalahan atau penipuan.
Beberapa langkah yang bisa dilakukan oleh pembeli antara lain:
– Memastikan bahwa pengembang memiliki izin resmi.
– Mengajukan pertanyaan detail tentang proses pemberian sertifikat.
– Melibatkan notaris atau pengacara dalam proses pembelian.
– Mengajukan keluhan secara resmi ke instansi terkait jika ada indikasi penundaan yang tidak wajar.
Dengan meningkatkan kesadaran dan perlindungan hukum, pembeli dapat lebih aman dalam melakukan investasi properti. Di sisi lain, pengembang juga perlu lebih transparan dan profesional dalam menjalankan bisnisnya agar tidak menimbulkan kerugian bagi para pembeli.