Insentif untuk Industri Padat Karya Dikucurkan, Namun Tantangan PHK Masih Menghantui
Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian telah menyiapkan sejumlah insentif khusus untuk pelaku industri padat karya. Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah, dan Aneka, Reni Yanita, menjelaskan bahwa insentif ini diberikan guna mendukung pengadaan barang modal yang menjadi kebutuhan utama industri.
“Insentif tersebut diperuntukkan bagi industri padat karya yang ingin membeli barang modal,” ujarnya kepada wartawan pada Selasa, 29 Juli 2025. Dengan adanya insentif ini, pelaku industri dapat mengakses pinjaman dari bank Himbara atau bank daerah untuk pembelian mesin produksi. Pemerintah juga akan menanggung sebagian bunga pinjaman tersebut.
“Biasanya bunga pinjaman adalah 9 persen, namun pemerintah akan menanggung 4 persen sehingga industri hanya perlu membayar 5 persen,” jelas Reni. Hal ini diharapkan mampu meringankan beban biaya operasional bagi pelaku industri.
Reni menambahkan bahwa seluruh pelaku industri padat karya berhak mengakses pinjaman ini tanpa pengecualian berdasarkan jumlah pendapatan. “Yang penting adalah kategori industri padat karya, yaitu minimal memiliki 50 tenaga kerja,” katanya. Saat ini, pihaknya masih menunggu petunjuk teknis serta Peraturan Menteri Perindustrian dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) untuk implementasi kebijakan ini.
Sementara itu, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyampaikan kekhawatiran terkait tren pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terus meningkat, khususnya di sektor padat karya. Ketua Umum Apindo, Shinta Widjaja Kamdani, mengatakan bahwa lonjakan PHK masih terjadi meskipun investasi dan penyerapan tenaga kerja menunjukkan peningkatan.
“Investasi saat ini beralih dari sektor padat karya ke sektor padat modal, terlihat dari penyerapan tenaga kerjanya. Meski ada penciptaan lapangan kerja, jumlahnya jauh lebih sedikit dibanding sebelumnya,” ujar Shinta dalam Konferensi Pers Pra-Rakerkonas Apindo XXXIV, Selasa, 29 Juli 2025.
Menurut Shinta, data pemerintah mencatat peningkatan kasus PHK sebesar 32 persen. Berdasarkan data BPJS Ketenagakerjaan, hingga Juni 2025 terdapat 150.000 kasus PHK, dengan 100.000 orang telah mengajukan klaim jaminan. “Kita tidak perlu terlalu berdebat soal angka atau data, yang jelas terlihat bahwa kenaikan itu ada,” katanya.
Shinta menyoroti bahwa lonjakan PHK dipengaruhi oleh ketidakpastian ekonomi global, termasuk kebijakan tarif Presiden AS Donald Trump. Ia menilai industri berorientasi ekspor seperti Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) paling terdampak, terutama di Jawa Tengah.
“Jika saat ini kita tidak memiliki tarif yang lebih baik dari kompetitor dan ada pengalihan order, itu akan mengganggu tenaga kerja di Indonesia,” tegasnya. Shinta memperkirakan tren PHK masih akan berlanjut ke depan mengingat kondisi ekonomi yang belum stabil.
Menyikapi hal tersebut, Apindo meminta dukungan insentif pemerintah, seperti suku bunga kredit rendah dan akses pembiayaan yang kompetitif. Diharapkan, langkah-langkah ini dapat membantu pelaku industri tetap bertahan dan menjaga stabilitas tenaga kerja di tengah tantangan ekonomi yang semakin kompleks.