Jember (IMR) – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkap minimnya keberpihakan pemerintah daerah kepada pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM). Ada sejumlah hal yang belum dilaksanakan pemerintah daerah.
“”Kita masih menemukan adanya belanja barang jasa yang belum memenuhi target minimal 40 persen belanja produk UMKM,” kata Kepala BPK Jatim Yuan Candra Djaisin, dalam acara sosialisasi tugas dan fungsi BPK, di Hotel Aston, Kabupaten Jember, Jawa Timur, Kamis (7/8/2025).
Menurut Yuan, pemerintah daerah di Indonesia belum optimal dalam transaksi belanja melalui aplikasi Bela Pengadaan. Aplikasi ini dikembangkan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) untuk memfasilitasi pengadaan langsung barang dan jasa dari usaha mikro dan kecil oleh instansi pemerintah.
“Ternyata berdasarkan hasil pemeriksaan, masih rendah belanja yang dilakukan, khususnya pada tujuh pemerintah daerah,” kata Yuan.
Yuan mengatakan ada beberapa hal yang harus dievaluasi oleh pemerintah daerah berdasarkan hasil audit BPK terhadap upaya pemerintah dalam mendorong kemudahan berusaha melalui pelayanan perizinan.
Menurut Yuan, pemerintah daerah belum melakukan kajian potensi dan peluang usaha. “Jadi, menurut aturan, ada 16 sektor usaha yang harus dibuat kajiannya. Ternyata pemerintah daerah belum bisa memenuhi semuanya,” katanya.
Pemerintah daerah, kata Yuan, seharusnya membuat kajianm peluang usaha setidaknya terhadap sektor yang akan berkembang dalam lima tahun ke depan.
Belum adanya kajian ini berdampak terhadap investasi. “Investor-investor yang masuk tidak punya peta,” kata Yuan. Alhasil, mereka mencari informasi di Google yang belum tentu valid.
Hal lain yang belum semua pemerintah daerah lakukan, menurut Yuan, adalah pemberian insentif penanaman modal dan kemudahan berusaha.
“Ada beberapa daerah yang sudah punya peraturan daerah tentang pemberian insentif kepada UMKM. Tapi ternyata peraturan pelaksananya belum dibuat. Peraturan bupatinya belum ada, SOP-nya belum ada, ya perda tinggal perda. Teman-teman di bawah enggak berani menjalankan,” kata Yuan.
Selain itu, lanjut Yuan, evaluasi kegiatan pemberdayaan belum pernah dilaksanakan oleh banyak pemerintah daerah di Indonesia. “Fasilitasi kemitraan usaha mikro dengan usaha besar belum menganut prinsip saling menguntungkan,” katanya.
Yuan menyoroti nota kesepahaman (MOU) antara pengusaha besar dengan pelaku UMKM yang tidak menguntungkan pihak yang lebih lemah, karena tidak ada bimbingan dari pemerintah daerah.
“Bahkan di sana MOU-nya atau perjanjiannya, ketika kami audit, tidak ada hak dan kewajibannya. Tidak ada bagi hasilnya. Tidak ada produk apa yang akan dikembangkan ke depan,” kata Yuan.
Berdasarkan pemeriksaan BPK pula, Yuan menyebut, upaya pemerintah daerah di Indonesia masih kurang mengembangkan akses modal usaha bagi UMKM. “Dibiarkan UMKM itu sendiri mencari permodalan,” katanya.
“Seharusnya bisa dibantu pemerintah daerah, melalui kerja sama dengan BPD (Bank Pembangunan Daerah), kerja sama dengan koperasi, atau kerja sama dengan lembaga keuangan non-bank,” kata Yuan.
“Pemerintah provinsi juga banyak yang belum melaksanakan kegiatan yang melibatkan UMKM. Dalam kegiatan yang diharapkan bisa melibatkan UMKM, ternyata mereka menggunakan usaha-usaha besar lainnya,” kata Yuan.
Pemerintah daerah juga belum melaksanakan kegiatan yang bisa mengidentifikasi dan memanfaatkan modal wilayah. “Itulah seharusnya yang bisa didorong untuk UMKM. Tapi mudah-mudahan enggak berantem dengan kabupaten sebelah lah. Soalnya saya dengar ini Banyuwangi dan Bondowoso rebutan Gunung Ijen. Memang dia ada di perbatasan gitu. Jadi bersaing,” kata Yuan.
Yuan meminta pemerintah daerah memfasilitasi akses pasar untuk UMKM. “Kalau sudah punya produk tapi tidak dibantu marketing-nya, pemasarannya, ya sama juga barang jadi enggak laku. Tapi alhamdulillah sekarang sudah ada namanya TikTok. Sudah ada namanya Facebook. Itu mudah-mudahan bisa membantu,” katanya.
“Hanya tinggal pembinaan dari pemerintah daerah bagaimana membuat UMKM ini literasinya terbuka terkait dengan digital tersebut. Karena banyak juga yang Gatek (Gagap Teknologi),” kata Yuan.
Dalam mengembangkan UMKM, Yuan mengingatkan pentingnya validitas data pelaku. “Bagaimana pemerintah daerah mau membina kalau data UMKM-nya saja tidak ada? Alamatnya, kondisinya di mana,” katanya.
BPK menemukan hasil audit pendataan pelaku UMKM belum valid. “Belum ada kriteria untuk memilih pelaku UKM yang akan dibina. Belum ada data usaha besar yang dapat bermitra. Kondisi-kondisi ini kami temukan di lapangan,” kata Yuan.
Tak hanya melontarkan kritik terhadap pemerintah daerah, Yuan juga berharap, UMKM meningkatkan kualitas produk agar konsumen, terutama pemerintah daerah, tak ragu-ragu menggunakannya.
“Kadang-kadang teman-teman di pemda atau di pemerintah pusat khawatir kualitas produk harus lebih ditingkatkan lagi. Ini harusnya equal to equal. Ketika menawarkan barang, kualitas produknya seharusnya lebih ditingkatkan lagi,” kata Yuan.
Di sinilah, menurut Yuan, BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) berperan. “Mereka harusnya sudah bisa memberikan inovasi-inovasi produk teknologi yang tepat guna. Namun muncul sedikit permasalahan. BRIN sudah bisa menghasilkan produk-produk tersebut., tapi permasalahannya ada di produksi massal, sehingga membuat UMKM tidak bisa membeli karena harganya sangat mahal,” katanya.
“Ini juga menjadi PR pemerintah agar bagaimana produk BRIN ini bisa ditangkap oleh industri, kerja sama, sehingga industri itu bisa menghasilkan produksi dalam bentuk massal dan dapat diserap UMKM,” kata Yuan.[wir]