Peningkatan Utang Pemerintah pada Tahun 2026
Pemerintah Indonesia akan menambah utang baru sebesar Rp 781,9 triliun pada tahun 2026. Rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dipatok sebesar 39,96 persen untuk tahun depan. Dalam dokumen Buku II Nota Keuangan 2026, utang tersebut terdiri dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 749,2 triliun dan pinjaman sebesar Rp 32,7 triliun. Pemerintah berkomitmen untuk mengelola utang secara prudent, akuntabel, dan terkendali agar dapat menjaga keberlanjutan fiskal.
Dari data yang tersedia, rasio utang terhadap PDB mengalami peningkatan sejak 2023. Pada tahun 2021, di tengah masa pandemi Covid-19, rasio utang mencapai 40,7 persen. Angka ini kemudian turun menjadi 39,7 persen pada 2022 dan 39,2 persen pada 2023. Namun, pada 2024, rasio utang kembali meningkat menjadi 39,8 persen. Sampai dengan Juni 2025, realisasi rasio utang tercatat sebesar 39,9 persen.
Biaya Pembayaran Bunga Utang yang Meningkat
Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026, biaya pembayaran bunga utang mencapai Rp 599,4 triliun. Angka ini naik sebesar 8,6 persen dibandingkan outlook 2025 yang sebesar Rp 552,1 triliun. Jumlah bunga utang tersebut terdiri dari pembayaran bunga utang dalam negeri sebesar Rp 538,7 triliun dan pembayaran bunga utang luar negeri sebesar Rp 60,7 triliun.
Menurut peneliti dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Deni Friawan, besarnya porsi pembayaran bunga utang dalam pembiayaan utang menunjukkan bahwa pemerintah saat ini sedang dalam kondisi “gali lubang tutup lubang”. Artinya, pemerintah mencari pinjaman baru untuk membayar utang lama. Deni juga menyoroti peningkatan jumlah total utang dan rasio utang selama beberapa tahun terakhir.
“Walaupun porsi pembayaran bunga utang telah sedikit berkurang, porsinya dalam belanja negara masih sangat besar, yaitu sekitar 19 persen,” ujar Deni dalam media briefing di kantor CSIS, Jakarta Pusat, Selasa, 19 Agustus 2025.
Kondisi Ruang Fiskal yang Menyempit
Deni menyebut bahwa spread atau selisih antara utang yang diterbitkan dan pembayaran bunga utang semakin mengecil. Hal ini membuat rasio utang terhadap PDB terus meningkat. Menurutnya, kondisi ini akan membuat ruang fiskal semakin menyempit. Di sisi lain, ia juga menyoroti bahwa belanja pemerintah lebih didahulukan untuk program prioritas Presiden Prabowo.
Selain itu, pemerintah harus tetap menjaga defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di bawah 3 persen. Untuk mencapai hal tersebut, diperlukan adanya trade off atau pengorbanan. Deni menjelaskan bahwa trade off-nya adalah pengurangan alokasi fiskal untuk daerah.
Pengurangan Dana Transfer ke Daerah
Sebagai informasi, pemerintah telah menetapkan anggaran transfer ke daerah (TKD) pada 2026 sebesar Rp 650 triliun. Angka ini lebih rendah dibandingkan anggaran tahun ini yang mencapai Rp 919 triliun. Penurunan anggaran ini dilakukan sebagai bagian dari upaya menjaga keseimbangan fiskal nasional.
Dengan pertumbuhan utang yang terus meningkat dan beban pembayaran bunga yang signifikan, pemerintah harus memastikan bahwa pengelolaan utang tetap berjalan secara bertanggung jawab. Langkah-langkah strategis perlu diambil agar tidak terjadi tekanan berlebihan terhadap APBN dan kebijakan fiskal nasional.







