Pemimpin de Facto Sudan Peringatkan Perang di Negaranya Berisiko Meluas ke Tetangga

InfoMalangRaya.com– Pemimpin de facto Sudan Jenderal Abdel Fattah al-Burhan bahwa peperangan yang terjadi di negaranya berisiko meluas ke negara-negara tetangga.
Dalam pidatonya di markas PBB di News York, Jenderal Abdel Fattah al-Burhan juga mendesak masyarakat internasional untuk menetapkan rival utamanya, kelompok paramiliter Rapid Support Forces (RSF), sebagai organisasi teroris, lansir BBC Jumat (22/9/2023).
Berbicara di PBB hari Kamis, Jenderal Burhan mengatakan pihaknya terbuka untuk perundingan damai, dan ingin “mengakhiri perang ini dan menyudahi penderitaan yang dialami rakyat”, tetapi RSF menolak.
Akan tetapi, dalam sebuah rekaman video yang dikirimkan ke PBB, lawannya, Jenderal Hamdan Dagalo – yang juga dikenal dengan panggilan Hemedti – mengatakan pihaknya siap untuk melakukan gencatan senjata.
Dalam pidatonya Jenderal Burhan juga menyinggung hubungan RSF dengan Wagner Group, kelompok tentara bayaran Rusia yang beroperasi di berbagai negara Afrika seperti di Republik Afrika Tengah, Sudan, Libya, Mozambique, dan Mali.
“Bahaya perang ini kini menjadi ancaman terhadap perdamaian dan keamanan regional dan internasional karena para pemberontak tersebut mencari dukungan dari para penjahat dan kelompok teroris dari berbagai negara di kawasan dan dunia,” katanya.
Jenderal Burhan juga berargumen bahwa RSF harus dianggap sebagai kelompok teroris karena mereka “mendukung pembunuhan, pembakaran, pemerkosaan, pemindahan paksa, penjarahan, pencurian, penyiksaan, perdagangan senjata dan obat-obatan terlarang, mendatangkan tentara bayaran” atau merekrut anak-anak sebagai tentara.
Pada tahun 2021 lalu, kedua jenderal tersebut sebenarnya masih berkawan dan melakukan bersama-sama melakukan kudeta, tetapi kurun beberapa bulan terakhir perebutan kekuasaan di antara mereka telah menyebabkan pasukan mereka saling mengokang senjata.
Perang saudara pecah pada April 2021, ketika anggota RSF dikerahkan di seluruh negeri dalam sebuah tindakan yang dianggap oleh militer Sudan – yang dipimpin oleh Jenderal Burhan – sebagai ancaman. RSF mengerahkan pasukannya karena merasa Jenderal Burhan mengulur waktu dan tidak mengupayakan percepatan peralihan kekuasaan ke tangan sipil sebagaimana yang dijanjikan.
Kedua pihak saling tuding siapa yang melepaskan tembakan pertama, yang kemudian berubah cepat menjadi perang saudara. Pertempuran tersebut telah menewaskan sedikitnya 7.500 orang menurut organisasi non-pemerintah Acled dan memaksa jutaan orang mengungsi.
Jenderal Burhan, yang menjadi pemimpin de facto Sudan setelah kudeta pada tahun 2021, telah berkeliling dunia untuk mencari dukungan internasional.
Setelah pengunduran dirinya pada pertengahan September utusan PBB untuk Sudan, Volker Perthes, sangat kritis terhadap kedua jenderal tersebut yang menurutnya telah memilih untuk menjerumuskan negaranya sendiri ke dalam perang.
Perthes menyalahkan RSF atas kekerasan seksual, penjarahan dan pembunuhan di wilayah yang dikuasainya. Dan pada saat yang sama dia juga mengutuk angkatan bersenjata Sudan yang dipimpin Burhan atas pemboman udara tanpa pandang bulu sehingga merenggut nyawa warga sipil.
Para petempur RSF ditempatkan dalam jumlah besar di wilayah perkotaan yang padat penduduknya, termasuk di ibukota Khartoum, dan militer Sudan tampaknya memandang daerah tersebut sebagai target yang sah.
Amerika Serikat sudah menjatuhkan sanksi terhadap para pemimpin RSF termasuk Jenderal Dagalo, tetapi negara-negara Barat juga sangat kritis terhadap Jenderal Burhan karena perannya dalam menggusur partai pemenang pemilu Sudan dari kekuasaan lewat kudeta tahun 2021.*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *