Pendidikan agama tetap penting untuk pembentukan karakter dan moral, tidak boleh sepenuhnya dilakukan online atau di depan layar
Oleh: Agus Syihabudin
InfoMalangRaya.com | PENDIDIKAN agama merupakan pilar utama dalam pembentukan moral dan nilai-nilai yang positif pada generasi mendatang. Namun, dalam era di mana teknologi semakin mendominasi, ada kecenderungan untuk menggeser pendekatan tradisional pendidikan agama yang berpusat pada interaksi tatap muka dengan alternatif yang lebih pasif, seperti menonton tayangan video.
Teknologi, termasuk tayangan visual, memiliki peran yang penting dalam pendidikan modern. Namun, mengubah pendekatan pendidikan agama menjadi sesuatu yang hanya melibatkan menonton tayangan mengancam esensi interaksi manusia yang mendalam dan refleksi pribadi.
Pendidikan agama memerlukan lebih dari sekadar informasi yang disajikan secara pasif; ia membutuhkan proses aktif pemahaman, refleksi, dan penerapan nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari.
Interaksi langsung dengan dosen memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk bertanya, berdiskusi, dan berbagi pengalaman secara langsung. Ini memungkinkan pembentukan hubungan yang mendalam dan pemahaman yang lebih baik tentang nilai-nilai yang diajarkan.
Proses refleksi pribadi dan introspeksi merupakan komponen penting dari pendidikan agama. Mahasiswa perlu memiliki kesempatan untuk merenungkan keyakinan mereka sendiri, mempertanyakan dan memahami nilai-nilai yang diterima, dan mengaitkannya dengan pengalaman hidup mereka.
Menonton video secara pasif tidak memberikan kesempatan ini; itu hanya menyajikan informasi tanpa memberikan ruang untuk pertanyaan, pemikiran kritis, atau refleksi pribadi.
Pendidikan agama bukan hanya tentang memahami satu agama tertentu, tetapi juga tentang memahami dan menghargai keragaman pendapat, keyakinan, dan budaya.
Interaksi langsung dalam pembelajaran agama memungkinkan siswa untuk berbagi pengalaman mereka sendiri, memahami perspektif yang berbeda, dan membangun toleransi dan penghargaan terhadap keragaman.
Menonton video tanpa interaksi manusia menghilangkan peluang untuk pertukaran budaya dan pemahaman yang saling menguntungkan ini.
Tujuan pendidikan agama Islam, sebagaimana yang menjadi misi Nabi Muhammad ﷺ, adalah untuk menyempurnakan akhlak, sesuai sabdanya: “Innamã bu’itstu liutammima makãrima al-akhlãq” (HR: Baihaki).
Hal ini menegaskan bahwa pendidikan agama Islam merupakan salah satu pilar dalam pembentukan karakter. Sementara itu, pendidikan karakter, menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemendikbud RI), diimplementasikan sebagai bagian dari Nawacita yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo, yang terintegrasi dalam Gerakan Nasional Revolusi Mental.
Nawacita ini menekankan perubahan cara berpikir, bersikap, dan bertindak menjadi lebih baik. Dalam memperkuat karakter tersebut, Kemendikbud menyoroti pentingnya harmonisasi olah hati, olah rasa, dan olah pikir.
Ini menunjukkan bahwa pendidikan karakter membutuhkan proses pemahaman yang aktif dan dinamis, serta memerlukan proses refleksi yang didukung oleh pengalaman batin yang mendalam.
Pembentukan karakter dan moral memerlukan latihan yang berkelanjutan serta dukungan dari komunitas. Melalui interaksi langsung, mahasiswa dapat menerima umpan balik langsung dalam susana kebatinan, emosi, dan kejiwaan yang mendukung untuk pertumbuhan mereka.
Dalam kata-kata Aristoteles, “Moral is NOT TAUGHT but TOUCHED”, yang berarti “Moral itu tidak sekadar diajarkan, tapi disentuh.”
Hakikat agama Islam, sebagaimana disebut oleh Nabi Muhammad ﷺ, adalah “nasihat”, sebagaimana sabdanya: “Al-Din al-Nasihah” (HR. Abu Daud, no. 4944), yang berarti “agama itu nasihat”.
Hal ini menunjukkan pentingnya metode nasihat dalam pendidikan agama. Proses memberi nasihat sangat perlu mempertimbangkan momen yang dapat membangkitkan rasa, emosi, dan pengalaman indrawi pembelajar secara menyeluruh.
Oleh karena itu, pendekatan tatap muka menjadi sangat penting. Memberikan nasihat secara lisan, dengan tatap muka, adalah hal yang krusial, karena dalam prosesnya, interaksi langsung memainkan peran yang sangat signifikan.
Meskipun konten nasihat mungkin dapat dipelajari melalui sumber-sumber belajar mandiri seperti buku atau video, namun suasana emosional dan spiritual yang tercipta, yang merupakan momen penting dalam efektivitas nasihat, tidak dapat dicapai. Memberi nasihat membutuhkan suasana interaksi yang aktif.
Dengan demikian, meskipun teknologi memiliki peran penting dalam pendidikan modern, pendidikan agama yang menjadi pilar utama bagi upaya penumbuhan karakter dan moral tidak boleh sepenuhnya diserahkan kepada layar.
Kombinasi antara pengalaman langsung, interaksi manusiawi, dan penerapan nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari tetap menjadi fondasi yang kuat untuk pembentukan karakter dan moral sebagai pendidik dan pemimpin, penting bagi kita untuk memastikan bahwa pendidikan agama tetap mempertahankan esensi interaksi yang manusiawi.
Perubahan Kurikulum Pendidikan Agama di ITB
Direktorat Pendidikan Institut Teknologi Bandung (ITB) merencanakan perubahan pada Kurikulum Pendidikan Agama yang akan berlaku mulai Semester I Tahun 2024/2025.
Berdasarkan penjelasan yang disampaikan oleh Dr. Arief Hariyanto, selaku Direktur Direktorat Pendidikan ITB, pada hari Kamis, 29 Februari 2024, di Convention Hall CRCS ITB, perubahan kurikulum ini meliputi:
1. Pola Tatap Muka diganti dengan pola Asinkron/Video. Ini berarti bahwa interaksi langsung dalam proses perkuliahan agama akan digantikan oleh menonton tayangan video. Waktu kuliah agama tidak lagi terjadwal, ruang kuliah tidak ditentukan, dan dosen tidak memiliki kelas tetap untuk menyampaikan materi kuliah. Materi pelajaran agama terdiri dari 11 substansi, seperti yang diatur dalam Keputusan Dirjen Dikti No. 84- 2020, akan disampaikan melalui tugas kepada mahasiswa, berupa menonton video yang berisi materi tersebut.
2. Evaluasi dalam bentuk Quiz Online juga dilakukan secara Asinkron. Ini berarti bahwa evaluasi atas proses belajar mandiri mahasiswa, yang meliputi menonton video, dilakukan secara tidak bersamaan dengan dosen. Dosen akan menyampaikan pertanyaan kepada mahasiswa melalui media tertentu, seperti WhatsApp, dan mahasiswa dapat menjawabnya melalui email atau media komunikasi lainnya.
3. Kuliah Umum hanya diikuti oleh mahasiswa sekali saja. Kuliah ini disampaikan oleh narasumber, baik dari kalangan dosen pengampu agama maupun dosen tamu.
4. Proses perkuliahan agama juga dikolaborasikan dengan Mata Kuliah (MK) Kewarganegaraan, khususnya dalam Tugas Kelompok dengan bentuk Studi Kasus minimal tiga topik. Mahasiswa dari kedua mata kuliah tersebut akan melakukan studi atas tiga kasus yang dikaji dari perspektif masing-masing agama dan kewarganegaraan.
5. Report dari Tugas Kelompok disampaikan secara tertulis dan dalam bentuk video presentasi.
Respons dan Harapan
Dari penjelasan Direktorat Pendidikan ITB di atas, terlihat jelas bahwa proses perkuliahan agama akan menjadi lebih pasif. Pada masa pandemi sebelumnya, kuliah dilakukan secara online, tetapi masih memungkinkan terjadinya interaksi antara dosen dan mahasiswa.
Namun, dengan pola Asinkron, interaksi langsung tersebut akan hilang. Dengan demikian, pola Asinkron dianggap lebih pasif dibandingkan dengan pola online.
Berbagai studi telah menunjukkan bahwa proses pembelajaran secara daring sangat tidak efektif. (Lihat: “Kuliah Online, Efektifkah?”, Kompasiana, 28 Juni 2022).
Pola pembelajaran daring saja dianggap tidak efektif, sehingga sulit membayangkan seberapa efektifnya pola Asinkron yang jauh lebih pasif daripada pola daring.
Mengapa ITB perlu mengubah Kurikulum Pendidikan Agama? Dalam konteks ini, Dirdik ITB, tidak secara khusus menjelaskan alasannya.
Namun dari sela-sela penjelasannya, tercetus dua hal utama. Pertama, peningkatan jumlah mahasiswa dari sekitar 4.500 menjadi sekitar 5.000 orang.
Kedua, dinilainya bahwa proses pendidikan yang ada tidak efektif. Namun, Dirdik ITB tidak secara khusus menjelaskan hasil evaluasinya.
Terkait dengan peningkatan jumlah mahasiswa, hal ini berhubungan erat dengan penyediaan sarana prasarana. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan bahwa setiap lembaga pendidikan formal wajib menyediakan sarana dan prasarana yang sesuai dengan kebutuhan.
Oleh karena itu, peningkatan jumlah mahasiswa harus dibarengi peningkatan kelas dan fasilitas lainnya. Peningkatan jumlah mahasiswa berkonsekwensi pada perubahan kurikulum, merupakan alasan kebijakan yang tidak relevan.
Dakwah Media BCA – Green
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal InfoMalangRaya (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Adapun penilaian bahwa proses pendidikan agama tidak efektif, tampaknya bersifat subjektif.
Sebagai institusi yang mengutamakan riset, seharusnya Dirdik melakukan kajian terlebih dahulu atas kondisi obyektif perkuliahan agama secara regional atau nasional, dan merilis hasilnya dalam forum-forum ilmiah untuk didalami substansi masalahnya serta dicarikan solusinya. Namun, hal ini tidak dilakukan.
Ketika Dr. Arif mengatakan; “Terkait penilaian, semula akan diterapkan “pass and fail”, tapi setelah dipikir-pikir, ya sudah sistem indeks saja”.
Ucapan yang tercetus spontan tersebut menunjukkan bahwa perubahan kurikulum ini mungkin lebih didasarkan pada pemikiran individu daripada hasil kajian ilmiah yang kuat.
Terkait dengan kolaborasi antara MK Pendidikan Agama dengan MK Kewarganegaraan, ketentuan dari Dirjen Dikti menegaskan bahwa Mata Kuliah Wajib Kurikulum harus dilaksanakan secara mandiri.
Oleh karena itu, kolaborasi kedua mata kuliah Agama dan Kewarganegaraan tidak sesuai dengan peraturan tersebut (Lihat: KeDirDikti No. 84/E/KPT/2020, butir kedua).
Sehubungan dengan itu, penting untuk ditegaskan kembali bahwa pendidikan agama tidak hanya berfokus pada pengetahuan tentang keyakinan tertentu, tetapi juga merupakan fondasi penting dalam pembentukan karakter dan moral yang kokoh.
Dari segi pendekatan pedagogis, menggantikan interaksi langsung dalam pembelajaran agama dengan tugas menonton video dianggap sebagai langkah yang tidak hanya absurd, tetapi juga bertentangan dengan prinsip- prinsip pedagogis yang sehat.
Di tengah meningkatnya jumlah lulusan Institut Teknologi Bandung yang terlibat dalam kasus korupsi, menjadi suatu panggilan bagi kita selaku dosen dan pemimpin di ITB untuk lebih memperkuat pendidikan agama yang merupakan pilar pendidikan moral, karakter dan akhlak.
Menggantikan proses interaksi langsung dengan menonton video hanya akan mengurangi kualitas pendidikan dan merugikan upaya kita untuk memperkuat karakter dan moral para mahasiswa.
Oleh karena itu, kita sangat berharap agar Direktorat Pendidikan ITB mempertimbangkan kembali rencana mereka dan memberikan prioritas pada interaksi dim kelas dalam pendidikan agama, seperti yang berjalan selama ini.
Hanya dengan cara ini kita dapat memastikan bahwa lulusan ITB tidak hanya memiliki pengetahuan teknis yang kuat, tetapi juga karakter dan moralitas yang menjadikan mereka pemimpin yang bertanggung jawab dan bermoral dalam masyarakat.
Kiranya Allah SWT, dengan limpahan hidayah-Nya, memberikan petunjuk kepada kita untuk menapaki jalan kebenaran. Semoga.
Dr. Drs. AGUS SYIHABUDIN, MA. Associate Professor, Dosen AEI di ITB. Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI Kota Bandung. Da’I MUI Pusat, email: [email protected] & [email protected].