KORAN – PIKIRAN RAKYAT – Kebijakan pencampuran bensin dengan etanol dapat menjadi batu loncatan RI menuju kemandirian energi nasional. Asalkan didukung dengan inovasi teknologi, riset berkelanjutan, dan komitmen politik yang kuat, kebijakan ini bisa menekan impor BBM dan membuka partisipasi rakyat.
Kesimpulan ini terungkap dalam diskusi bertajuk “Setahun Pemerintahan Baru, Bagaimana Kemandirian Energi Nasional?” yang diselenggarakan oleh Ikatan Wartawan Ekonomi Bisnis (IWEB) di Bandung, pekan lalu. Penggunaan etanol dalam campuran BBM dinilai sebagai salah satu terobosan penting ke arah swasembada energi.
Dosen Program Doktor Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Bandung (FEB Unisba), Prof Ima Amaliah mengatakan program swasembada energi sudah seharusnya dijalankan sejak lama. Bahkan sejak masa kejayaan minyak Indonesia di era 1980-an.
Saat itu, kata dia, hasil dari sektor migas seharusnya dimanfaatkan untuk membangun fondasi energi nasional yang mandiri. Menurutnya, momentum menuju kemandirian energi saat ini sangat tepat karena dunia tengah menghadapi tantangan perubahan iklim.
Indonesia pun sudah terikat pada komitmen Paris Agreement atau perjanjian Paris untuk mencapai net zero emission paling lambat tahun 2050. Karena itu, transformasi menuju energi bersih seperti bioetanol merupakan bagian dari kewajiban global.
Guru Besar Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara Institut Teknologi Bandung (ITB), Tri Yus Widjajanto, menilai kebijakan pencampuran etanol dalam BBM yang tengah diinisiasi pemerintah menjadi langkah nyata dalam mengurangi impor energi. Secara teknis bahan bakar dengan kandungan etanol terbukti aman digunakan pada kendaraan bermotor modern dan bisa membantu menekan emisi karbon.
“Etanol dari tebu, jagung, atau singkong itu tidak hanya ramah lingkungan, tapi juga memperkuat rantai pasok energi domestik. Selama kadar etanolnya diatur dengan benar, kendaraan tidak akan mengalami masalah teknis berarti,” kata Tri.
Dia menambahkan, pemanfaatan etanol bisa membantu menekan ketergantungan impor BBM yang selama ini mencapai lebih dari 45% kebutuhan nasional. Selain itu, pengembangan industri bioetanol dalam negeri juga berpotensi membuka lapangan kerja baru dan meningkatkan nilai tambah bagi produk pertanian nasional.
Ini langkah strategis untuk membangun kemandirian energi berbasis sumber daya dalam negeri. Pemerintah tinggal memastikan kesinambungan pasokan bahan baku dan infrastruktur distribusinya.
Pada kesempatan yang sama, pengamat Kebijakan Publik Universitas Padjadjaran (Unpad), Yogi Suprayogi menilai, inovasi melalui program etanol dan regulasi sumur minyak rakyat adalah untuk mengerek produksi sehingga tidak bergantung lagi pada impor.
Pembenahan
Dikatakan Yogi, semua hal tersebut akan berjalan efektif jika diikuti pembenahan tata kelola energi. Ia mengingatkan pentingnya penyederhanaan regulasi agar kebijakan transisi energi tidak terhambat oleh birokrasi yang kompleks.
“Secara konsep, bagus. Kalau masyarakat lokal bisa bekerja sama dengan organisasi atau koperasi rakyat, itu bisa memperkuat ekonomi daerah,” ujar Yogi.
Meski begitu, Yogi mengingatkan agar kebijakan sumur rakyat tetap mengutamakan kesejahteraan rakyat. Ia mewanti-wanti agar masyarakat tidak dijadikan tameng dari perusahaan besar yang ingin mengeruk keuntungan untuk golongan tertentu saja.
Terpisah, dosen Teknik Mesin dan Biosistem IPB University, Dr Leopold Oscar Nelwan, menjelaskan bahwa sebenarnya produk bensin berbasis bioetanol telah tersedia di pasaran melalui Pertamax Green 95 dari Pertamina dengan kadar bioetanol 5%. Produk ini dikenal sebagai BBM Bensin E5 dan diatur melalui Keputusan Dirjen Minyak dan Gas Bumi No 252.K/HK.02/DJM/2023.
“Kebijakan E10 ini bisa memiliki banyak keunggulan, tetapi juga tantangan teknis yang perlu diantisipasi,” ujarnya dalam siaran pers.
Lebih lanjut ia menjelaskan, penerapan E10 tidak hanya dapat meningkatkan proporsi energi terbarukan, tetapi juga mendukung strategi nasional menuju net zero emission.
Meski demikian, ia menekankan bahwa pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) bergantung pada banyak faktor, termasuk praktik budi daya bahan baku dan proses industri pengolahan bioetanol.
“Saat ini, sumber utama bioetanol masih didominasi biomassa generasi pertama, yakni tanaman penghasil gula dan pati. Masalahnya, bahan baku ini masih bersaing dengan kebutuhan pangan,” katanya.
Karena itu, ia menilai, pengembangan bahan baku sebaiknya diarahkan pada biomassa generasi kedua dan seterusnya, yang tidak berkompetisi dengan pangan. Selain aspek lingkungan, kebijakan E10 juga berpotensi mengembangka industri bioetanol dalam negeri dan menyerap lebih banyak tenaga kerja.
Hal ini turut membuka rantai pasok yang melibatkan banyak pihak, terutama petani. “Apabila bioetanol bisa diproduksi sepenuhnya di dalam negeri, kemandirian energi Indonesia akan semakin tangguh,” tutur Dr Leopold.
Dari sisi kualitas bahan bakar, ia menjelaskan bahwa pencampuran etanol dengan bensin perlu memenuhi syarat teknis tertentu. Salah satunya, etanol yang digunakan harus memiliki kadar air kurang dari 0,3% volume per volume (v/v) karena sifatnya yang higroskopis atau mudah menyerap air.
“Jika kadar air terlalu tinggi, campuran bensin-etanol dapat mengalami pemisahan fasa yang berisiko menimbulkan korosi dan gangguan aliran bahan bakar. Permasalahan ini bisa diminimalkan bila kadar air campuran di bawah 0,15% m/m, sebagaimana diterapkan pada E5,” katanya menjelaskan.
Dr Leopold juga menekankan keutamaan penyusunan standar operasional prosedur (SOP) yang lebih ketat. Karena kandungan bioetanol yang lebih tinggi, SOP ini penting untuk menjamin perubahan kualitas bahan bakar, terutama penyerapan air dari udara yang lembab, seminimal mungkin sehingga sampai pada konsumen dengan aman. ***