Pengalaman Manajer Timnas Indonesia U-17 dalam Membina Pemain Muda
Sebagai seorang manajer timnas Indonesia U-17, Ahmed Zaki Iskandar memiliki pengalaman yang cukup panjang dalam memimpin dan membina pemain muda. Dalam wawancara terbarunya, ia mengungkapkan perbedaan signifikan dalam sistem pembinaan sepak bola di bawah dua era kepemimpinan PSSI yang berbeda.
Zaki telah terlibat dalam beberapa generasi timnas usia muda sejak tahun 2006. Ia menyatakan bahwa pendekatan federasi terhadap pengembangan pemain telah mengalami perubahan besar, baik dari segi metode pelatihan, dukungan, maupun efektivitas hasilnya.
Sistem Pembinaan Era Nurdin Halid
Pada masa kepemimpinan Ketua Umum Nurdin Halid, PSSI mengambil kebijakan yang cukup ambisius dengan mengirimkan satu tim lengkap U-23 ke Belanda untuk pembinaan jangka panjang. Tujuan utamanya adalah persiapan menuju Asian Games 2006 di Qatar. Tim tinggal selama hampir enam bulan di sana, tetapi kondisi awalnya sangat minim staf. Hanya ada pelatih, manajer, asisten, sekretaris, dan kitman yang mendampingi.
Sebagian besar aspek latihan, termasuk nutrisi, pelatih fisik, hingga pelatih kiper, ditangani oleh KNVB (Asosiasi Sepak Bola Belanda). Meskipun terlihat modern, program ini justru menimbulkan banyak tantangan. Para pemain mengalami culture shock, masalah makanan, perbedaan cuaca ekstrem, serta homesick.
“Tekanannya besar, tapi untung waktu itu belum ada sosial media,” ujar Zaki dalam wawancara di podcast Discord, Rabu (3/12/2025).
Hasil pertandingan di Asian Games 2006 tidak sesuai harapan. Timnas yang dihuni oleh pemain seperti Bobby Satria kalah telak di dua laga awal kualifikasi Grup B. Kekalahan 6-0 dari Irak dan 4-1 dari Suriah membuat Zaki akhirnya membuat laporan resmi ke PSSI bahwa program jangka panjang di Eropa kurang efektif untuk kondisi pemain Indonesia.
Perubahan di Era Erick Thohir
Pengalaman pahit tersebut membuat Zaki melihat perbedaan besar saat ini, di bawah era kepemimpinan Erick Thohir. Menurutnya, PSSI kini tidak lagi memaksakan TC panjang 6–12 bulan ke luar negeri. Sebaliknya, federasi membangun ekosistem pelatihan yang lebih manusiawi, terukur, dan diadaptasi dengan kultur Indonesia.
TC dilakukan secara panjang di dalam negeri, dengan sesekali road show ke luar negeri seperti ke Bulgaria dan Dubai. “Metode sekarang jauh lebih cocok. Kami bisa menjaga mental, nutrisi, dan kondisi pemain usia 16–17 tahun yang rawan,” jelas Zaki.
Dukungan federasi juga jauh lebih lengkap, mulai dari pelatih spesialis, tenaga medis, ahli gizi, hingga psikolog yang selalu mendampingi para pemain. Ini menjadi faktor penting dalam menjaga keseimbangan antara pengembangan teknik dan kesehatan mental pemain.
Pentingnya Adaptasi dalam Sistem Pembinaan
Zaki menegaskan, pengalaman dua era ini membuktikan satu hal penting bahwa model pembinaan tidak bisa meniru mentah-mentah dari luar negeri. Dibutuhkan adaptasi, kesinambungan, dan pemahaman kultur pemain muda.
Menurutnya, metode PSSI era Erick Thohir lebih efektif dalam membangun karakter, kekuatan mental, dan kesiapan kompetitif. “Untuk usia 17–20, TC panjang di dalam negeri sangat ideal. Untuk U-20 atau U-23, barulah pemain bisa dicicil dikirim ke luar untuk memperkaya pengalaman,” ujarnya.
Dengan sistem baru yang lebih matang dan terukur, Zaki meyakini fondasi sepak bola usia muda Indonesia kini berada pada jalur yang jauh lebih tepat menuju level yang lebih tinggi. Ini menjadi langkah penting dalam mempersiapkan talenta-talenta muda yang siap bersaing di kancah internasional.







