Infomalangraya.com, JAKARTA- Dalam proyek besar mengawinkan etanol dan bahan bakar minyak/BBM, Indonesia seolah sekadar mengikuti jejak keberhasilan sawit sebagai campuran dalam biodiesel. Akankah bioetanol bisa memutar roda kesuksesan serupa pencampuran minyak sawit dengan BBM?
Indonesia merupakan satu-satunya negara di dunia yang memegang predikat sebagai produsen sekaligus konsumen terbesar biodiesel untuk alat transportasi. Standar campuran minyak sawit dan BBM dengan kadar 40%, jadi yang tertinggi di dunia.
Proyeksi pengembangan biodiesel itu sejalan dengan keunggulan komoditas, Indonesia masih selaku salah satu produsen terbesar sawit. Dengan total produksi tahunan, sawit pun dibagi-bagi untuk konsumsi pangan, industri, hingga energi. Pasar pun tersebar, domestik dan ekspor.
Alhasil, keberadaan sawit, termasuk produk biodiesel di dalamnya ikut memberikan nilai tambah kepada jutaan petani, hingga pekerja industri hilir. Biodiesel memainkan kiprah menjaga stabilisasi harga hingga sebagai upaya menghadirkan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan.
Jejak demikian sangat mungkin dituruti program etanol. Peluang pasar juga sangat besar, sekiranya mayoritas jenis kendaraan di Indonesia berbasis bensin yang bisa dikomplementer dengan bioetanol.
Namun, belum apa-apa, niatan pengembangan etanol malah membangkitkan polemik. Muasalnya adalah kontrak pembelian bahan baku BBM oleh SPBU swasta dari Pertamina, ternyata ada kandungan etanol 3,5%. Kontrak itupun batal. Selanjutnya cap etanol sebagai ‘penumpang gelap’ dalam BBM ikut kena getah.
Sejurus kemudian, Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia angkat bicara. Dia tidak menyorot langsung soal transaksi Pertamina dan beberapa SPBU swasta, justru mendesak adanya penerapan campuran etanol sebesar 10% (E10).
“Bapak Presiden sudah menyetujui untuk rencana mandatory 10% etanol. Dengan demikian kita akan campur bensin dengan etanol, tujuannya agar tidak impor [minyak] banyak,” ungkap Bahlil, Selasa (7/10/2025).
Di sisi lain, menakar perkembangan etanol di berbagai belahan bumi, bukanlah barang asing. Bahkan, berbagai negara yang lebih dulu menerapkan campuran etanol, berhasil mengerek kadar di atas 20%.
Lebih jauh, momok soal tarik-tarikan kepentingan pangan versus energi karena bahan baku utama etanol dianggap berpatok kepada tebu, sebetulnya juga usang. Etanol bisa diproduksi dari limbah pengolahan gula, maupun berbasis komoditas lainnya.
ETANOL di NEGARA LAIN
Dalam catatan Kementerian ESDM, Brasil sudah mencampur etanol berbasis tebu ke dalam BBM dengan kadar 27% (E27) hingga 100% (E100). Kemudian, AS menggunakan etanol berbasis jagung lewat E85 dan E10, sementara India menerapkan E20 berbasis tebu.
Lebih lanjut, Thailand menggunakan E20 dan E85 berbasis tebu dan singkong, Argentina E12 berbasis jagung dan tebu, Jerman E10 berbasis jagung dan gandum, Vietnam E10 berbasis tebu, Filipina E10 berbasis tebu, Perancis E10 berbasis bit gula dan jagung, dan China E10 berbasis jagung.
Sementara itu, Ahli Bahan Bakar dan Pembakaran Institut Teknologi Bandung (ITB) Tri Yuswidjajanto Zaenuri menilai penolakan sejumlah SPBU swasta untuk membeli base fuel milik PT Pertamina (Persero) lantaran kandungan etanol 3,5% tidak memiliki dasar teknis yang kuat.
Menurut dia, kendaraan yang beroperasi di Indonesia sejatinya telah siap mengonsumsi bensin dengan kandungan etanol hingga 10%. Pemerintah pun telah menetapkan spesifikasi bahan bakar melalui Direktorat Jenderal Migas yang mengakomodasi campuran etanol hingga 20%.
Tri menjelaskan, etanol memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan komponen fosil murni. Zat tersebut memiliki angka oktan tinggi, berkisar antara RON 110–120, serta mampu menurunkan emisi karbon karena berasal dari sumber nabati.
“Etanol meningkatkan oktan dan mengurangi emisi CO2 karena dianggap karbon netral, tidak menambah CO2 di udara,” jelasnya.
Meski demikian, Tri mengakui bahwa etanol memiliki kelemahan, yakni sifatnya yang mudah menyerap air. Kondisi tersebut bisa menurunkan kualitas bahan bakar jika terdapat air bebas dalam tangki penyimpanan.