Perdagangan Organ ‘Israel’: Tuduhan dan Kesaksian

oleh Cagdas Yuksel
InfoMalangRaya.com – Perang yang dilakukan Israel untuk menaklukkan Palestina sering kali dilihat dari sudut pandang operasi militer, sengketa wilayah, dan kebuntuan politik. Namun, di balik peristiwa-peristiwa ini tersembunyi sebuah dimensi yang lebih gelap, di mana tubuh-tubuh rentan dari mereka yang tertindas menjadi komoditas bagi industri perdagangan organ tubuh.
Sejumlah tuduhan bahwa “Israel” telah mencuri organ tubuh dari para tahanan Palestina dan korban perang untuk digunakan di pasar perdagangan organ internasional telah berlangsung lama. Tuduhan ini tidak hanya muncul pada masa konflik, melainkan juga pada masa damai. Sehingga menambah perspektif yang mengerikan dan mengkhawatirkan terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang sedang berlangsung di wilayah Palestina yang dijajah.
Perdagangan organ tubuh di wilayah konflik bukanlah fenomena baru. Zona perang, di mana hukum telah runtuh, dan nyawa manusia direndahkan, menjadi lahan subur bagi kegiatan ilegal. Pengambilan organ tubuh dari korban perang telah didokumentasikan di daerah konflik di seluruh dunia, termasuk Balkan dan Afrika Sub-Sahara. Dalam konteks ini, Konvensi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Konvensi Jenewa telah menetapkan aturan yang jelas untuk melindungi warga sipil selama konflik. Namun, Israel belum meratifikasi Konvensi Jenewa Keempat tahun 1949, yang mengamanatkan penghormatan terhadap martabat orang yang meninggal dan melarang penjarahan atau mutilasi mayat.
Apakah Israel mencuri organ tubuh warga Palestina?
Selain keengganan Israel untuk mematuhi kewajiban internasional ini, perbedaan etika dan ajaran agama seputar transplantasi organ tubuh juga menambah kontroversi. Kendati ajaran Yahudi menyoroti prinsip “pikuach nefesh” (menyelamatkan nyawa), [2] kaum Yahudi ortodoks, khususnya, menolak donor organ, dengan alasan bahwa orang yang otaknya telah mati dianggap masih hidup.
Akibatnya, tingkat donasi organ di “Israel” tetap rendah. Di negara-negara Barat, sekitar 30% orang memiliki kartu donor organ, sementara di “Israel”, jumlahnya hanya berkisar di angka 14%. Kesenjangan ini memicu dugaan kuat bahwa warga “Israel” melakukan perjalanan ke luar negeri untuk melakukan transplantasi organ dan bahwa organ-organ tubuh orang Palestina menjadi sasaran.
Tuduhan aktivitas perdagangan organ tubuh oleh “Israel” pertama kali muncul secara besar-besaran pada Intifada Palestina Pertama pada akhir 1980an dan awal 1990an. Selama periode ini, banyak keluarga Palestina yang mengaku bahwa tubuh kerabat mereka yang tewas dalam pembantaian yang dilakukan oleh pasukan Israel dikembalikan sebagai organ tubuh yang hilang.
Meskipun awalnya dianggap sebagai propaganda yang tidak berdasar, peningkatan laporan serupa memperkuat spekulasi dan kecurigaan. Kasus seorang pemuda Palestina bernama Bilal Ahmed Ghanem, yang dibunuh oleh tentara Israel pada tahun 1992, dan sebuah artikel tahun 2009 di koran Swedia Aftonbladet yang berjudul Our Sons’ Organs Were Stolen (Organ Anak-Anak Kami Dicuri) lebih jauh lagi menyoroti klaim-klaim ini. Artikel tersebut memuat wawancara dengan keluarga-keluarga yang mengungkapkan bahwa “Israel” telah mengambil organ tubuh dari warga Palestina yang meninggal dan menunjukkan adanya jaringan perdagangan organ tubuh yang lebih luas yang terhubung dengan institusi-institusi medis “Israel”.
Para pejabat Israel sebelumnya telah mengakui bahwa mereka telah mengambil organ tubuh dari warga Palestina dan kelompok-kelompok lain. Dalam sebuah program televisi Israel tahun 2014 yang kontroversial, para pejabat senior mengaku telah mengambil kulit dari warga Palestina dan pekerja Afrika yang telah meninggal, yang digunakan untuk mengobati luka bakar tentara Israel.Direktur Bank Kulit Israel mengungkapkan bahwa cadangan kulit manusia di negara itu telah mencapai 17 meter persegi (183 kaki persegi), jumlah yang sangat besar bagi sebuah negara dengan populasi yang kecil, yang mengisyaratkan adanya praktik pengambilan organ tubuh yang lebih masif. Dokter dan antropolog “Israel”, Meira Weiss, dalam bukunya Over Their Dead Bodies (2002), memberikan rincian tentang pencurian organ tubuh secara sistematis dari warga Palestina, yang digunakan untuk penelitian medis di universitas-universitas “Israel” dan ditransplantasikan kepada pasien-pasien “Israel”.
Sebuah laporan yang dirilis oleh Pemantau Hak Asasi Manusia Euro-Med pada Oktober 2023 menyulut kembali kekhawatiran atas tuduhan pencurian organ yang melibatkan warga Palestina, terutama dalam kasus-kasus di mana jenazah yang dikembalikan dari tahanan Israel menunjukkan tanda-tanda perusakan. Pejabat kesehatan Gaza telah melaporkan adanya kejanggalan pada jenazah yang dipulangkan, yang mengindikasikan adanya pengambilan organ tubuh. Menurut laporan tersebut, pasukan “Israel” mengumpulkan puluhan mayat Palestina dari rumah sakit di Gaza utara, yang dikembalikan dalam keadaan termutilasi. Pada Juli 2024, media “Israel” Haaretz melaporkan bahwa militer Israel menimbun mayat 1.500 orang Palestina di pusat penahanan Sde Teiman. Semua tuduhan ini menunjukkan urgensi akan perlunya investigasi menyeluruh terhadap martabat para korban perang dan pelanggaran hak asasi manusia yang lebih luas.
Eropa tetapkan Israel sebagai negara utama pelaku perdagangan organ tubuh
Selain itu, “Israel” telah lama dikritik sebagai tujuan wisata transplantasi organ. Sebuah laporan tahun 2015 oleh Parlemen Eropa berjudul Trafficking in Human Organs menetapkan Israel sebagai salah satu negara penting yang terlibat dalam perdagangan organ tubuh, dan menyebutnya sebagai pengimpor dan konsumen organ tubuh. Laporan yang sama mencatat penolakan “Israel” untuk menandatangani Deklarasi Istanbul 2008, yang bertujuan untuk memerangi perdagangan organ tubuh.
Minat terhadap transplantasi organ di “Israel” juga dapat dilacak melalui pencarian di internet dan aktivitas online. Situs web resmi Kementerian Kesehatan Israel mencantumkan daftar rumah sakit yang memiliki unit transplantasi organ. Menurut penelitian saya, pencarian Google terkait transplantasi organ di rumah sakit “Israel” melonjak di Amerika Serikat setelah dimulainya perang di Gaza pada 7 Oktober 2023. Data Google Trends menunjukkan bahwa pencarian untuk istilah seperti “ginjal di Israel” dan rumah sakit seperti Sheba Medical Center, Soroka Medical Center, dan Rambam Health Campus mengalami peningkatan skor tren Google dari 0 menjadi 100 pada Oktober 2023, sedangkan rumah sakit yang tidak memiliki unit transplantasi, seperti Rumah Sakit Bersalin Lis dan Rumah Sakit Assuta, tidak menunjukkan peningkatan seperti itu dan skornya 0.
Israel perlu diselidiki secara menyeluruh
Pada tahun 2008, “Israel” memberlakukan Undang-Undang Transplantasi Organ untuk mengatur donasi dan transplantasi organ secara lebih ketat. Namun, serangan Israel ke Gaza dan tuduhan-tuduhan yang sedang berlangsung memicu kekhawatiran yang terus berlanjut mengenai eksploitasi organ tubuh.
Membuktikan tuduhan bahwa “Israel” mencuri organ tubuh warga Palestina akan membutuhkan proses investigasi yang rumit. Pertama, bukti konkret diperlukan untuk memperkuat kejahatan tersebut, namun pendudukan militer Israel membuat investigasi independen hampir tidak mungkin dilakukan. Rintangan hukum juga masih ada. Tindakan Israel seperti itu jelas merupakan pelanggaran hukum internasional. Konvensi Jenewa Keempat melarang perampasan mayat dan mengamanatkan perlindungan warga sipil di bawah pendudukan. Pasal 16 Konvensi secara tegas melarang pelecehan terhadap mereka yang mati dan mutilasi mayat. Namun, “Israel” tidak mengakui pemberlakuan konvensi tersebut di Gaza dan Tepi Barat.
Jika tuduhan-tuduhan ini terbukti, Tel Aviv harus dituntut atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Mahkamah Pidana Internasional (ICC) memiliki wewenang untuk menyelidiki kejahatan-kejahatan semacam itu. Meskipun “Israel” bukan merupakan salah satu pihak dalam ICC, status Palestina sebagai negara anggota dapat memberikan dasar hukum untuk menuntut “Israel”. Laporan-laporan yang terus berlanjut tentang penodaan, mutilasi, dan pencurian organ tubuh tidak hanya menimbulkan keprihatinan kemanusiaan yang signifikan, tetapi juga memperlihatkan kurangnya akuntabilitas dan keadilan di zona perang.
Waktunya telah tiba untuk melakukan investigasi menyeluruh untuk mengungkap kebenaran, memberikan keadilan bagi para korban, dan mencegah pelanggaran lebih lanjut terhadap hukum humaniter internasional.*
Penulis adalah peneliti di TRT World Research Center
Baca juga: Didalangi Orang ‘Israel’, Polisi Turki Bongkar Jaringan Perdagangan Organ Manusia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *