InfoMalangRaya.com– Pernyataan Presiden RI Prabowo Subianto yang menyatakan kesiapan Indonesia menjalin hubungan diplomatik dengan ‘Israel’ jika negara Zionis tersebut mengakui kemerdekaan Palestina memicu kontroversi luas.
Pakar Timur Tengah Pizaro Ghozali Idrus, menilai pernyataan tersebut tidak tepat, keliru secara sejarah, dan bertentangan dengan prinsip konstitusi Indonesia yang menolak segala bentuk penjajahan.
“Pernyataan Presiden yang menyatakan ‘siap buka hubungan diplomatik dengan ‘Israel’ jika Palestina merdeka’ itu misleading. Faktanya, hingga saat ini Palestina masih dijajah, hanya memiliki sekitar 10–15% wilayah yang tersisa, itu pun terus dianeksasi,” tegas Pizaro dalam tayangan “Tim Teng podcast” bertajuk “Prabowo: Indonesia Siap Hubungan Diplomatik dengan Israel jika Kemerdekaan Palestina Diakui”.
Mantan redaktur Timur Tengah Anadolu Agency ini menyatakan bahwa Presiden Prabowo gagal menangkap esensi sikap historis dan prinsipil Indonesia dalam isu Palestina-’’Israel’’.
Ia juga mengkritik bahwa fokus pernyataan Prabowo justru lebih pada pengakuan terhadap penjajah ‘Israel’ sebagai negara berdaulat, bukan pada tekanan terhadap ‘Israel’ agar menghentikan agresi militer, penjajahan, dan genosida yang tengah terjadi di Gaza dan Tepi Barat.
Keliru Secara Historis
Pria yang saat ini sedang menyelesaikan studi geopolitik dan hubungan internasional pendidikan di Universiti Sains Malaysia ini menyoroti narasi yang menyatakan bahwa Indonesia “berutang budi” pada ‘Israel’ karena pernah menerima nota pengakuan kemerdekaan Indonesia dari ‘Israel’ pada 1949.
Menurutnya, meski nota tersebut dikirim, tak pernah ada balasan pengakuan dari Indonesia terhadap ‘Israel’.
“Bung Hatta menerima nota itu, tapi tidak pernah membalas dengan pengakuan. Tidak ada satu pun pernyataan dari Bung Hatta, Bung Karno, atau Mohammad Natsir yang menyatakan bahwa Indonesia akan mengakui kedaulatan ‘Israel’ jika mereka mengakui Palestina,” jelas Pizaro.
Ia menambahkan, sikap Indonesia saat itu sangat jelas: menolak pembagian wilayah Palestina oleh PBB pada 1947 dan tidak pernah memberikan pengakuan terhadap pendirian negara ‘Israel’ yang dianggap hasil kolonialisme.
“Para pendiri bangsa kita tegas. Bung Karno bahkan melarang atlet ‘Israel’ masuk Indonesia, dan tidak pernah mengatakan ‘boleh masuk asal akui Palestina’. Jadi, narasi bahwa kita punya jejak historis akomodasi terhadap ‘Israel’ itu keliru besar,” kata penulis buku “HAMAS: Superpower Baru Dunia Islam” ini.
Bertentangan dengan Konstitusi
Lebih lanjut, Pizaro menekankan bahwa pernyataan Presiden bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 1 Pembukaan yang menyatakan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, penjajahan di atas dunia harus dihapuskan.
“Apakah kita siap menjalin hubungan dengan negara penjajah hanya karena ada janji untuk mengakui kemerdekaan Palestina? Ini bentuk kompromi terhadap prinsip dasar kita sebagai bangsa yang menolak segala bentuk penjajahan,” ujar Pizaro.
Ia juga menyebutkan bahwa negara-negara seperti Kolombia, Bolivia, dan beberapa negara Eropa bahkan kini memutus hubungan diplomatik dengan ‘Israel’ atau mengakui Palestina tanpa syarat timbal balik dari ‘Israel’.
“Lalu mengapa Indonesia justru memberi ‘kredit politik’ pada penjajah?” tanyanya.
Indonesia Terlalu Naif
Pizaro menyebut langkah Prabowo sebagai bentuk sikap naif dan tidak berdasarkan realitas politik ‘Israel’ saat ini.
“Pemimpin-pemimpin ‘Israel’ hari ini, seperti Netanyahu, Itamar Ben-Gvir, dan Bezalel Smotrich, justru terang-terangan menolak gencatan senjata, bahkan menyuarakan pengusiran warga Gaza dan penghancuran Masjid Al-Aqsha,” katanya.
Ia menegaskan bahwa tidak ada tanda-tanda dari elite politik ‘Israel’ yang menunjukkan niat mengakui kemerdekaan Palestina.
“Jadi jika kita mengatakan akan akui ‘Israel’ asal mereka akui Palestina, itu terlalu percaya diri. Yang ada justru mereka sedang memperluas penjajahan,” tegasnya.
Potensi Normalisasi Terselubung
Pizaro juga menaruh kecurigaan terhadap kemungkinan adanya agenda normalisasi terselubung antara Indonesia dan ‘Israel’, yang didorong oleh kepentingan investasi atau tekanan geopolitik.
“Belum ada penjelasan jelas dari pemerintah soal kunjungan Prabowo ke lima negara Timur Tengah. Beberapa negara yang dikunjungi, seperti Uni Emirat Arab, merupakan broker normalisasi negara-negara Arab dengan ‘Israel’. Apakah ada agenda tersembunyi di balik diplomasi ini?” ujarnya.
Ia mengingatkan bahwa isu normalisasi antara Indonesia dan ‘Israel’ telah lama berembus, dan menjadi kekhawatiran publik, terutama di tengah krisis kemanusiaan di Gaza yang menelan ribuan nyawa warga sipil.
Desakan untuk Sikap Tegas
Sebagai penutup, Pizaro mendesak pemerintah Indonesia, khususnya Presiden Prabowo, untuk kembali pada prinsip dasar konstitusi dan sejarah perjuangan diplomatik Indonesia.
“Bung Karno dengan tegas mengatakan: selama Palestina masih dijajah, maka Indonesia akan terus mendukung perjuangan kemerdekaannya. Itu adalah posisi moral dan historis kita. Jangan dirusak hanya karena tekanan geopolitik atau iming-iming ekonomi,” ujar Pizaro.
Ia menyerukan agar Indonesia mengambil langkah konkret: memutus hubungan ekonomi dengan perusahaan-perusahaan pendukung kolonialisme ‘Israel’, memperkuat diplomasi global untuk pengakuan negara Palestina, serta mendorong sanksi internasional terhadap ‘Israel’ atas kejahatan kemanusiaan di Gaza.
“Ini saatnya Indonesia menjadi suara bagi keadilan global, bukan menjadi alat kompromi,” tutupnya.*