Peraturan Presiden No.110/2025 tentang Ekonomi Karbon: Peluang Investasi dan Kontribusi pada Pertumbuhan Ekonomi
Peraturan Presiden Nomor 110 Tahun 2025 yang terkait dengan ekonomi karbon memiliki potensi besar untuk membuka peluang investasi di sektor adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, sekaligus berkontribusi dalam mengejar pertumbuhan ekonomi sebesar 8%. Aturan ini merupakan revisi dari Peraturan Presiden (Perpres) 98/2021 yang dinilai kurang responsif terhadap perkembangan ekonomi karbon.
Aturan baru ini memungkinkan seluruh instrumen karbon diperdagangkan, baik melalui pasar wajib (Emission Trading System/ETS), pasar sukarela (voluntary market), maupun perdagangan dalam skema Artikel 6 Persetujuan Paris. Dengan adanya aturan ini, Indonesia semakin siap menghadapi tantangan perubahan iklim sambil tetap menjaga pertumbuhan ekonomi.
Pasar ETS dan Perdagangan Karbon Wajib
Pasar ETS dirancang agar peserta yang melebihi ambang batas emisi tertentu harus membayar. Di Indonesia, ETS telah mulai diterapkan di sektor kelistrikan, terutama pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), dengan menetapkan Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi (PTBAE). Penerapan ETS ini akan memberikan peluang pendapatan melalui lelang kuota emisi dan pembiayaan dari proyek offset karbon. Hal ini sangat menguntungkan pemerintah karena karbon yang diperdagangkan tetap dihitung sebagai pencapaian NDC.
Selain itu, mekanisme ini juga akan mengurangi eksposur terhadap kewajiban pajak luar negeri dalam kebijakan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) yang akan diterapkan Uni Eropa pada 1 Januari 2026.
Pasar Sukarela dan Proyek Konservasi
Sementara itu, pasar sukarela mencakup proyek-proyek konservasi yang umumnya berbasis hutan dan lahan. Proyek-proyek ini menjual kredit karbon kepada perusahaan-perusahaan asing seperti Shell untuk menurunkan catatan emisi. Di Indonesia, beberapa proyek sudah berjalan cukup lama, seperti Katingan-Mentaya Project oleh PT Rimba Makmur Utama di Kalimantan Tengah dan proyek konservasi hutan di Bujang Raba, Jambi oleh Yayasan KKI Warsi.
Namun, pemerintah melakukan moratorium pada pasar sukarela pada 2021 karena perdagangan jenis ini tidak diatur dalam Perpres NEK 98/2021. Namun, dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 110 Tahun 2025, perdagangan pasar karbon sukarela di Indonesia diharapkan semakin bergairah.
Sistem Registri Unit Karbon (SRUK)
Revisi Peraturan Presiden ini menyebabkan semua jenis perdagangan karbon harus dicatat ke dalam sistem baru yang disebut Sistem Registri Unit Karbon (SRUK). Sistem ini bertujuan untuk memastikan bahwa karbon yang dijual tetap bisa diklaim untuk pencapaian NDC, kecuali melalui mekanisme otorisasi dan Corresponding Adjustment (CA).
Dengan adanya SRUK, transparansi dan akuntabilitas dalam perdagangan karbon meningkat, sehingga mendorong partisipasi lebih banyak pelaku bisnis dan investor.
Dampak pada Pengelolaan Hutan dan Gambut
Pembukaan pasar sukarela akan membuka investasi dalam proyek adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Ini akan berdampak besar terhadap pengelolaan hutan dan gambut di Indonesia, karena proyek-proyek restorasi dan konservasi akan memiliki cukup dana dari penjualan kredit karbon untuk melaksanakan kegiatannya.
Sejak moratorium diberlakukan, sejumlah proyek konservasi terbengkalai atau beroperasi tanpa pemasukan, sehingga menghambat upaya adaptasi dan mitigasi. Dengan terbukanya kembali pasar sukarela, harapan besar terletak pada kemampuan proyek-proyek ini untuk kembali berjalan dan memberikan manfaat bagi lingkungan serta masyarakat setempat.
Manfaat bagi Industri dan Masyarakat Lokal
Sejumlah lini industri akan mendapatkan manfaat dari revisi Perpres NEK ini. Di sektor forest and land use (FOLU), pasar karbon sukarela akan menjamin setiap aksi restorasi dari sisi kebijakan dan pendanaan, yang pada akhirnya akan bermanfaat untuk menjaga alam dan pencaharian masyarakat.
Di beberapa proyek, aksi konservasi juga melibatkan pemberdayaan komunitas lokal yang mendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Contohnya, PT RMU membangun pabrik albumin di Desa Tampelas yang mendorong warga lokal untuk membudidaya ikan gabus sebagai sumber utama albumin. COO PT RMU Rezal Kusumaatmadja menjelaskan bahwa ini adalah bagian dari proyek pemberdayaan di Katingan-Mentaya Project untuk memastikan kesejahteraan masyarakat setempat.
Peluang Investasi di Sektor Energi Terbarukan
Selain itu, Perpres NEK juga akan membuka peluang investasi baru di sektor energi terbarukan dan industri hijau yang rendah karbon. Dengan adanya regulasi yang lebih jelas dan terstruktur, investor akan lebih percaya diri untuk berinvestasi di sektor-sektor ini, yang pada akhirnya akan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.