Dalam upaya memastikan kualitas dan keamanan pangan di setiap dapur umum makan bergizi gratis (MBG), Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi) menilai bahwa setiap satuan pelayanan pemenuhan gizi (SPPG) perlu memiliki lebih dari satu ahli gizi. Hal ini terutama diperlukan jika SPPG tersebut beroperasi dengan kapasitas maksimum, yaitu 3 ribu porsi per hari.
Ketua Dewan Pimpinan Pusat Persagi Bidang Ilmiah, Marudut Sitompul, menyatakan bahwa setidaknya dua ahli gizi harus hadir di setiap SPPG. “Saat ini yang kita perlukan itu dua (ahli gizi), karena penerima manfaat setiap SPPG adalah 3 ribu,” ujarnya saat berbicara di Menteng, Jakarta Pusat pada Rabu, 19 November 2025.
Menurut Marudut, tugas memeriksa keamanan pangan untuk 3 ribu porsi tidak ideal dilakukan oleh satu orang. Para ahli gizi harus bekerja penuh mulai dari ketika SPPG menerima pasokan bahan pangan, selama proses memasak, hingga memeriksa hidangan setelah selesai diproses.
Seluruh pekerjaan tersebut membutuhkan waktu yang panjang. Contohnya, SPPG bisa saja menerima bahan pangan di sore atau malam hari dan baru selesai memasak saat pagi. Karena itu, Marudut mengungkapkan bahwa beban kerja untuk satu orang ahli gizi di satu SPPG bisa terlalu besar. “Satu orang ini load kerjanya sangat banyak dan perlu tidur juga,” tuturnya.
Padahal, kata Marudut, ahli gizi harus selalu siap untuk mengecek kualitas bahan makanan dan hidangan yang sudah jadi. Ia menyarankan agar ada dua orang ahli gizi di SPPG agar keduanya dapat bekerja dengan membagi sif.
Badan Gizi Nasional (BGN), pelaksana program MBG, sebelumnya mengklaim bahwa ahli gizi menjadi profesi langka setelah berjalannya MBG oleh pemerintahan Prabowo Subianto sejak 6 Januari 2025 lalu.
Kepala BGN Dadan Hindayana mengatakan, ahli gizi yang sebelumnya kerap mengalami kesulitan dalam mencari lapangan pekerjaan, kini berbalik dicari. “Komisi IX (DPR) memberikan saran agar BGN mencari jalan keluar dari kelangkaan profesi ahli gizi tersebut,” ujar dia usai rapat dengar pendapat bersama Komisi IX DPR, Rabu, 12 November 2025.
Dia melanjutkan, alternatif yang akan dilakukan BGN dalam mengatasi kekurangan profesi ahli gizi, yaitu dengan mencari lulusan atau sarjana yang memiliki rumpun keilmuan serupa. “Misalnya lulusan kesehatan masyarakat, teknologi pangan, atau processing pangan,” ujar Guru besar IPB University itu.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik atau BPS pada 2024, jumlah ahli gizi di seluruh Indonesia adalah 34.553. Jumlah ini mengalami penurunan sekitar 5 persen dari tahun 2023 yang mencatatkan jumlah ahli gizi sebanyak 36.400.
Andi Adam Faturahman berkontribusi dalam penulisan artikel ini.







