Ketika tubuh mengalami sakit atau kita menerima diagnosis yang tidak menyenangkan, pertempuran sebenarnya sering kali tidak terjadi di ruang dokter, melainkan di dalam pikiran sendiri. Dalam situasi seperti ini, dua suara sering bersaing dalam diri kita. Suara pertama berbisik, “Tenang, semua akan baik-baik saja.” Sementara suara kedua membalas dengan dingin, “Bersiaplah untuk yang terburuk, jangan terlalu berharap.” Pertanyaannya adalah, manakah yang lebih baik? Apakah kita harus menjadi optimis yang tersenyum di tengah rasa sakit, atau pesimis yang membentengi diri dari kekecewaan?
Jebakan dan Kekuatan Optimisme
Kita sering diajarkan bahwa “pikiran positif adalah separuh dari kesembuhan.” Secara ilmiah, ini memiliki dasar yang kuat. Optimisme dapat menurunkan tingkat hormon stres (kortisol) dan meningkatkan sistem imun. Seorang yang optimis cenderung lebih patuh pada pengobatan karena mereka percaya usaha mereka akan membuahkan hasil.
Namun, ada sisi gelap dari optimisme yang berlebihan, yang sering disebut toxic positivity. Bahayanya adalah jika kita terlalu optimis secara membabi buta (“Ah, ini cuma sakit biasa”), kita mungkin mengabaikan gejala serius atau menolak realitas medis. Kelemahannya adalah saat hasil yang diharapkan tidak terjadi, jatuhnya akan terasa jauh lebih sakit karena kita tidak memiliki “bantalan” mental untuk menerimanya.
Logika di Balik Pesimisme
Pesimisme sering kali dianggap sebagai hal negatif, padahal ia memiliki fungsi evolusi: bertahan hidup. Dalam konteks kesehatan, ada istilah yang disebut Defensive Pessimism. Ini adalah strategi kognitif di mana seseorang memprediksi tantangan terburuk untuk mempersiapkan diri menghadapinya.
Kekuatannya adalah seorang pesimis (atau realis) sering kali lebih siap secara logistik. Mereka bertanya, “Apa plan B jika obat ini gagal?” Mereka tidak kaget saat kabar buruk datang. Namun, bahayanya adalah jika dibiarkan mendominasi, pesimisme berubah menjadi keputusasaan (hopelessness). Rasa putus asa adalah musuh terbesar imun tubuh. Saat pikiran berkata “tidak ada gunanya,” tubuh sering kali berhenti berjuang.
Jalan Tengah: Optimisme Realistis
Jika kita harus memilih mana yang “lebih baik” dalam kondisi sulit, jawabannya bukanlah salah satu dari ekstrem tersebut, melainkan perpaduan keduanya: Optimisme Realistis. Ini adalah konsep yang mirip dengan Stockdale Paradox (dinamai dari Laksamana James Stockdale yang selamat dari penyiksaan perang Vietnam). Prinsipnya sederhana namun kuat:
“Anda harus memiliki keyakinan tak tergoyahkan bahwa Anda akan berhasil pada akhirnya, namun pada saat yang sama, Anda harus berani menghadapi fakta-fakta paling brutal dari kenyataan Anda saat ini.”
Dalam konteks kesehatan, pola pikir ini terdengar seperti:
“Saya tahu penyakit ini berat dan statistiknya menakutkan (Sisi Realis/Pesimis)…”
“…tetapi saya akan melakukan segala cara yang saya mampu, makan dengan benar, minum obat, dan saya percaya tubuh saya punya kemampuan luar biasa untuk memulihkan diri (Sisi Optimis).”
Kesimpulan
Jadi, mana yang lebih baik? Yang terbaik adalah keseimbangan. Gunakan “pesimisme” (kewaspadaan) untuk disiplin menjalani pengobatan dan mempersiapkan kemungkinan terburuk, namun gunakan “optimisme” (harapan) sebagai bahan bakar batin agar tidak layu sebelum berkembang. Menghadapi kondisi sulit bukan tentang menolak rasa takut, melainkan tentang bergerak maju bersama rasa takut itu, sambil tetap menggenggam harapan. Kesehatan bukan hanya tentang angka di kertas lab, tapi tentang seberapa tangguh jiwa kita menopang tubuh yang sedang rapuh.



