InfoMalangRaya.com – Sejak penjajah ‘Israel’ melancarkan perang genosidanya pada 7 Oktober 2023, krisis kemanusiaan memilukan telah terjadi di Gaza, membuat banyak keluarga Palestina berjuang tanpa kepastian akan kehidupan normal.
Seperti yang dinyatakan sebelumnya oleh UNICEF, selama masa perang dan konflik, dampak terbesar dan paling menghancurkan sering kali dirasakan oleh mereka yang paling rentan, terutama anak-anak, dan ini terbukti di Gaza, dengan bayi dan orang tua mereka di antara yang paling terdampak.
Saat ini, para ibu di Gaza menghadapi kekurangan pasokan kebutuhan pokok untuk anak-anak mereka, dengan kebutuhan yang hampir mustahil ditemukan atau sama sekali tidak terjangkau.
Perjuangan ini semakin diperparah dengan seringnya penundaan dan terhambatnya dalam pengiriman bantuan kemanusiaan karena ‘Israel’ seringkali mempersulitnya.
Ketika kondisi terus memburuk, The New Arab berbicara dengan para ibu di Gaza untuk memahami bagaimana mereka mengasuh anak-anak mereka, terutama ketika musim dingin tiba dan kondisi di kamp-kamp pengungsian memburuk.
Kantong plastik dan kain sebagai pengganti popok
Salah satu masalah pertama yang dilaporkan oleh para ibu yang diwawancarai oleh The New Arab adalah kurangnya akses terhadap popok.
Semua ibu yang diwawancarai menyatakan bahwa mereka tidak mampu membeli popok karena kenaikan harga dan, sebagai akibatnya, mereka harus bergantung pada alternatif sementara.
Rana Medhat, seorang penduduk Az Zawayda, yang baru saja melahirkan putri keduanya, Toleen, mengatakan, “Sejak awal serangan ini, setiap hari adalah perjuangan untuk membeli popok untuk bayi perempuan saya.”
Rana menjelaskan bahwa sebelum perang genosida ‘Israel’, ia dan suaminya, Yousef, dapat membeli satu pak popok dengan harga kurang dari $5, namun harga tersebut kini meningkat drastis.
Dia lebih lanjut mencatat bahwa setiap dolar yang dihabiskan untuk membeli popok untuk bayinya adalah satu dolar lebih sedikit tersedia untuk kebutuhan penting lainnya.
Dengan harga-harga yang tinggi ini, Rana menghadapi tantangan yang luar biasa dalam merawat bayinya dan telah menggunakan berbagai solusi darurat.
Kadang-kadang, Rana mengunjungi kamar bayi di rumah sakit terdekat, berharap mereka memiliki popok cadangan. Di lain waktu, ia menjemur popok bekas pakai di bawah sinar matahari dan mencoba menggunakannya kembali, meskipun ada risiko kebersihan. Dalam kasus terburuk, Rana tidak punya pilihan selain membiarkan bayinya memakai popok yang kotor sampai ia bisa mendapatkan popok baru, yang berdampak pada kulit bayinya yang sensitif.
Demikian pula, dua ibu lainnya juga mengalami hal yang sama.
Mona Ruqa’a, misalnya, menjelaskan bahwa ia kesulitan untuk membeli popok untuk bayi laki-lakinya, terutama karena ia memiliki anak lain yang juga membutuhkan popok.
Dia menyoroti kenaikan harga yang drastis sejak genosida dimulai, dengan menyatakan bahwa satu pak popok yang dulunya berharga sekitar 12 shekel (sekitar $ 3,50) sekarang harganya mencapai 220 shekel atau Rp 968 ribu.
“Bayangkan berapa banyak popok yang dibutuhkan bayi saya dalam sebulan,” keluhnya, sambil menekankan beban keuangan yang sangat besar bagi keluarganya.
Karena biaya yang tinggi ini, Mona terkadang terpaksa menggunakan kantong plastik atau kain ketika ia tidak bisa mendapatkan popok.
Seperti Rana, Mona mengatakan bahwa hal ini mengakibatkan “anak-anak saya menderita infeksi kulit.”
“Saya tidak punya pilihan lain,” tambah Mona.
Huda juga mengungkapkan keresahannya, dengan mengatakan, “Saya dan suami saya selalu mengkhawatirkan putri kami, Mira. Kami berjuang untuk menemukan sereal bayi, susu formula, popok, dan kebutuhan lainnya.”
Huda melanjutkan, “Putri saya menderita infeksi kulit parah karena saya tidak bisa membeli popok untuknya.”
Sambil menangis, ia menambahkan, “Genosida ini adalah genosida terhadap anak-anak kami dan kehidupan mereka. Apa yang telah mereka lakukan sehingga mereka layak mendapatkan kondisi yang begitu kejam?”