IMR – The biggest lessons bagi para pejabat publik maupun tokoh agama, yaitu pentingnya melakukan pengendalian diri di depan publik. Karena setiap kata maupun tindakan yang dilakukan, memiliki konsekuensi besar.
Hal itu disampaikan Ketua ISNU Jawa Timur, yang juga Direktur Pascasarjana Unisma, Prof. Mas’ud Said, saat menjadi narasumber talkshow di program Idjen Talk. Yang disiarkan langsung Radio City Guide 911 FM, Senin (9/12/2024).
Karena itulah, Prof. Mas’ud menyarankan agar para pejabat publik fokus work in silence atau fokus pada pekerjaannya saja, untuk menunjukkan hasil dan kinerja.
“Berbicara sopan dan santun juga merupakan tantangan. Sehingga adanya sertifikasi kelaikan berbicara di depan publik juga sangat direkomendasikan, untuk mencegah adanya oknum yang bekerja di level tertentu, namun tidak memenuhi syarat,” katanya.
Apalagi untuk berbicara di depan publik, tambah Praktisi Publik Speaking, Oneng Sugiarto, membutuhkan banyak persiapan. Termasuk teknik dan penguasaan materi. Tidak hanya untuk pejabat publik atau tokoh agama. Tapi untuk semua orang.
“Tips yang bisa digunakan adalah membuat script atau naskah. Agar apa yang disampaikan bisa lebih tertata, terarah dan hati-hati. Termasuk ketika ingin membuat jokes atau candaan, harus menyesuaikan dengan target audiens,” kata Oneng.
Menurutnya, pembicara harus tahu siapa audience-nya, agar bisa melakukan sinkronisasi dengan materi yang akan disampaikan.
Sementara itu, Ketua Program Studi Magister Ilmu Komunikasi FISIP UB, Maulina Pia Wulandari menyampaikan, ada enam hal yang harus dipahami public speaker, sebelum berbicara di depan umum.
Yaitu mengetahui siapa dirinya, siapa audiencenya, media yang digunakan (tradisional atau modern), efek dan dampak jangka panjang dari materi yang disampaikan, aksesibilitas kultural, hingga ekspektasi audience atau tujuan audience terhadap apa yang kita sampaikan.
“Saat ini masyarakat semakin aware dengan apapun yang disampaikan oleh pejabat publik. Karena ada peningkatan SDM, termasuk juga ada pengaruh media sosial yang masif diikuti dengan kebebasan berpendapat,” tegasnya.
Sehingga setiap tokoh publik, harus benar – benar memperhatikan ucapan dan etika, yang bisa menimbulkan normalisasi bagi masyarakat. (Yolanda Oktaviani/Ra Indrata)