IMR – Dewan Kesenian Kabupaten Malang, menyoroti kesenian Bantengan, yang mulai mengalami perubahan secara signifikan.
Ketua Dewan Kesenian, Ki Suroso, ketika menjadi narasumber talkshow di program Idjen Talk, yang disiarkan langsung Radio City Guide 911 FM, Jumat (21/2/2025) menyebut, Bantengan pada awalnya tidak memiliki pemain wanita. Namun seiring perkembangan zaman, terjadi akulturasi yang menghadirkan bentuk pertunjukan baru.
“Masuknya musik DJ dan remix, telah mengubah wajah kesenian bantengan. Meskipun hal ini menimbulkan pro dan kontra, terutama di kalangan seniman tradisional,” tambahnya.
Ki Suroso menekankan pentingnya mencari jalan tengah. Pihaknya mengusulkan untuk mengembalikan marwah kesenian bantengan, pada bentuk yang lebih baik tanpa menghilangkan esensinya.
Dalam menanggapi perkembangan ini, Ki Suroso menyarankan agar para praktisi Bantengan melakukan pembenahan.
Mereka harus mencari cara, agar kesenian ini tetap laku di pasaran. Namun tidak kehilangan etika berkeseniannya.
Dalam situasi tersebut, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Kabupaten Malang, sudah mendaftarkan Bantengan Lereng Semeru, sebagai warisan budaya tak benda. Agar kesenian ini tidak punah.
“Kesenian Bantengan sudah berkembang pesat sejak lama di Kabupaten Malang. Karena itu, Disparbud Kabupaten Malang, berupaya mengembangkan kesenian Bantengan di tingkat desa,” kata Kabid Kebudayaan Disparbud Kebudayaan Kabupaten Malang, Hartono.
Pihaknya juga berkolaborasi dengan pelaku kesenian Bantengan, untuk melakukan pelatihan terkait marwah bantengan.
Pelatihan diberikan untuk meningkatkan kualitas dan standarisasi kesenian Bantengan, terutama di daerah pedesaan.
Selain itu, lanjutnya, untuk melestarikan kesenian Bantengan, Disparbud Kabupaten Malang juga berupaya mengajukan kesenian Bantengan sebagai warisan tak benda.
Sementara itu, Dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Malang, Hutri Agustino menyoroti perkembangan kesenian bantengan, yang saat ini mengalami berbagai improvisasi.
“Improvisasi dan akulturasi dalam kesenian Bantengan diperbolehkan. Selama tidak keluar dari pakem dan tidak menabrak etika serta kesopanan,” jelasnya.
Hutri mengusulkan, adanya pembatasan usia untuk pertunjukan Bantengan. Utamanya yang melibatkan atraksi kesurupan atau kalap.
Pihaknya menekankan pentingnya mempertimbangkan aspek perkembangan psikologis dan keamanan fisik para pemain. Terutama untuk atraksi yang dianggap ekstrim.
Dalam upaya melestarikan kesenian bantengan, Hutri menyarankan adanya kolaborasi antara Dewan Kesenian dan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Malang.
Ia juga mengusulkan pendekatan ‘stick and carrot’, dengan memberikan sanksi berupa penangguhan atau tidak diperpanjangnya izin bagi kelompok kesenian yang melanggar etika dan norma yang berlaku. (Anisa Afisunani/Ra Indrata)