Peran Indonesia dalam Diplomasi Global: Tantangan dan Peluang
Kehadiran Presiden Prabowo Subianto di KTT Perdamaian Gaza di Doha, Qatar, akhir pekan lalu menjadi salah satu momen penting dalam perjalanan diplomasi Indonesia. Ini adalah pertama kalinya seorang kepala negara Indonesia secara terbuka menghadiri forum yang juga dihadiri oleh perwakilan Israel. Langkah ini menimbulkan berbagai interpretasi dan reaksi dari berbagai pihak.
Pertama, langkah ini bisa dilihat sebagai upaya Indonesia untuk memperkuat posisinya sebagai aktor diplomatik global. Dengan partisipasi di forum internasional yang melibatkan pihak-pihak yang bersengketa, Indonesia menunjukkan ambisi untuk lebih aktif dalam menciptakan perdamaian. Namun di sisi lain, hal ini juga memicu kekhawatiran bahwa prinsip moral Indonesia, khususnya terhadap Palestina, mulai mengalami pengenduran.
Dinamika Diplomasi di Tengah Realitas Global
Sejak lama, Indonesia dikenal memiliki posisi yang kuat terhadap isu Palestina. Dukungan terhadap kemerdekaan Palestina tidak hanya didasarkan pada hubungan keagamaan, tetapi juga pada amanat konstitusi yang menyatakan bahwa “penjajahan di atas dunia harus dihapuskan.” Namun, dinamika politik global yang cepat berubah memaksa Indonesia untuk menyesuaikan pendekatannya.
Menurut data Lowy Institute Global Diplomacy Index (2025), Indonesia kini menempati peringkat ke-13 dalam jaringan diplomatik dunia, dengan 133 kedutaan dan konsulat. Ambisi untuk menjadi kekuatan menengah dunia membutuhkan pendekatan yang lebih pragmatis—termasuk keterlibatan dalam forum yang melibatkan pihak-pihak berkonflik.
Keterlibatan Prabowo di KTT Gaza bisa dianggap sebagai realpolitik, yaitu langkah strategis untuk menjaga relevansi Indonesia di panggung global dan memperkuat posisi strategis di Timur Tengah, yang kaya akan energi dan investasi. Namun, tanpa batas moral yang jelas, langkah ini berisiko mengaburkan identitas diplomasi Indonesia yang selama ini berbasis nilai kemanusiaan.
Antara Aspirasi Publik dan Kepentingan Negara
Dukungan publik Indonesia terhadap Palestina masih sangat kuat. Survei Indikator Politik Indonesia (2024) menunjukkan bahwa lebih dari 87% warga Indonesia menolak normalisasi hubungan dengan Israel dan menganggap isu Palestina sebagai bagian dari tanggung jawab moral bangsa. Oleh karena itu, langkah Prabowo membawa risiko domestik yang nyata.
Kritik di media sosial dan forum publik menunjukkan kecemasan bahwa keterlibatan Indonesia di KTT Gaza bisa menjadi bentuk “normalisasi terselubung”. Dalam konteks demokrasi, persepsi publik seperti ini tidak bisa diabaikan—karena legitimasi kebijakan luar negeri juga ditentukan oleh penerimaan rakyat.
Pemerintah perlu menjelaskan secara terbuka bahwa partisipasi dalam forum tersebut bukanlah bentuk pengakuan, melainkan strategi untuk membuka jalur kemanusiaan dan memperjuangkan gencatan senjata permanen. Tanpa komunikasi politik yang jelas, langkah diplomasi bisa disalahpahami sebagai kompromi.
Menjaga Marwah Politik Luar Negeri Bebas Aktif
Prinsip “bebas aktif” selama ini menjadi identitas diplomasi Indonesia. “Bebas” berarti tidak memihak kekuatan global manapun; “aktif” berarti berperan nyata dalam menciptakan perdamaian. Dalam konteks Gaza, prinsip ini menuntut keseimbangan antara kepentingan nasional dan solidaritas kemanusiaan.
Indonesia bisa memanfaatkan momentum KTT Gaza untuk mendorong diplomasi kemanusiaan konkret, seperti pengiriman bantuan medis, misi pembangunan pasca-konflik, dan peran aktif di forum PBB. Namun, peran ini hanya akan bermakna jika dijalankan dengan transparansi moral. Politik luar negeri yang kehilangan dasar etiknya akan mudah terjebak dalam transaksi politik global—dan kehilangan kepercayaan publik di dalam negeri.
Diplomasi yang Berkarakter, Bukan Simbolik
Langkah Prabowo membuka peluang bagi Indonesia untuk tampil sebagai mediator kredibel di kawasan konflik. Tapi agar tidak sekadar simbolik, kebijakan luar negeri Indonesia perlu memperkuat tiga hal:
-
Konsistensi antara kebijakan diplomasi dan sikap moral nasional
Indonesia perlu menjaga keselarasan antara tindakan diplomatiknya dan prinsip moral yang telah menjadi bagian dari identitas bangsa. -
Penguatan kapasitas Kementerian Luar Negeri dalam diplomasi multilateral
Diperlukan peningkatan kemampuan institusi diplomatik untuk menangani isu-isu kompleks di tingkat global. -
Komunikasi publik yang jujur, terbuka, dan faktual
Transparansi dan kejelasan komunikasi sangat penting untuk menjaga kepercayaan publik terhadap kebijakan luar negeri.
Diplomasi yang berkarakter bukanlah yang paling keras bersuara, melainkan yang paling konsisten menjaga prinsip. Indonesia bisa memainkan peran strategis tanpa kehilangan jati dirinya sebagai bangsa yang berpihak pada kemanusiaan.
Penutup
Kunjungan Prabowo ke KTT Gaza adalah ujian awal bagi arah politik luar negeri di era barunya. Dunia mungkin memuji keberaniannya, tapi rakyat Indonesia menuntut kejelasan moral dan komitmen kemanusiaan. Di tengah persimpangan antara idealisme dan kepentingan, Indonesia perlu menegaskan kembali satu hal: bahwa kekuatan sejati diplomasi kita bukan pada seberapa dekat dengan kekuatan global, melainkan seberapa teguh kita memegang amanat konstitusi—untuk menegakkan keadilan dan perdamaian bagi semua bangsa.