Sumber gambar, Sebby Sambom
Satu orang anggota pasukan TPNPB-OPM berdiri di depan pesawat Susi Air yang dibakar.
Tewasnya anggota TNI yang bertugas dalam operasi penyelamatan pilot Susi Air, Philip Max Mathens, disebut pengamat menjadi penanda bahwa pendekatan kekerasan “hanya menyisakan nyawa” alias tidak akan menyelesaikan konflik di Papua.
Sebab korban jatuh tidak hanya dari aparat keamanan tetapi kelompok bersenjata pro-kemerdekaan dan masyarakat sipil.
Kendati demikian, Kapuspen TNI Julius Widjojono, memastikan pihaknya akan tetap melakukan pendekatan ‘keras’ berupa bantuan tempur dengan kekuatan maksimal pasca-insiden yang terjadi Sabtu (15/04) lalu.
Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, mengatakan TNI menghadapi tantangan berat untuk bisa membebaskan pilot Susi Air, Philip Max Marthens, dari tangan kelompok Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM).
TPNPB-OPM, menurutnya, lebih menguasai medan tempur dan cuaca ekstrem yang tak bisa diprediksi.
Sehingga peluang mereka memenangkan pertempuran jauh lebih besar.
Hal itu terbukti dari peristiwa baku tembak yang terjadi pada Sabtu (15/04).
Kelompok TPNPB-OPM mengeklaim setidaknya 12 anggota TNI yang tewas, namun TNI mengeklaim korban dipihaknya satu orang dalam operasi pengintaian dan upaya penyelamatan sandera.
“Ibaratnya mereka [kelompok kriminal bersenjata] yang sembunyi kan lebih safe ketimbang yang bergerak [TNI/Polri],” ujar Khairul Fahmi kepada BBC News Indonesia, Minggu (16/04).
Berkaca pada insiden itu, dia menilai TNI harus mengevaluasi terlebih dahulu operasi penyelamatan yang lalu, sebelum mengerahkan kekuatan maksimal.
Karena ada kemungkinan operasi rahasia dan senyap tersebut bocor.
“Ada evaluasi apakah pengadangan yang berakhir dengan kontak tembak antara kelompok kriminal bersenjata dan TNI karena operasi ini terdeteksi oleh KKB? Atau personel di lapangan yang tidak berhati-hati?”
“Kalau ada kebocoran informasi fatal.”
Sumber gambar, Sebby Sambom
Pasukan TPNPB-OPM menyandera pilot Susi Air, Philip Max Merhtens
Sebelumnya, Kepala Pusat Penerangan TNI, Julius Widjojono, mengatakan Panglima TNI Yudo Margono telah memerintahkan agar upaya yang pencarian tetap dilakukan dan “bantuan tempur dengan kekuatan maksimal” diberlakukan.
Bantuan tempur dan kekuatan maksimal itu, menurut Khairul Fahmi, bisa dimaknai sebagai tindakan kekerasan yang lebih tinggi dari sebelumnya kendati bukan perang.
“Misalnya jika harus dilumpuhkan ya dilumpuhkan, jika harus ditembak mati, ya tembak mati. Ada kemungkinan pasukan lain digerakkan untuk mengamankan tim penyelamat di area.”
Akan tetapi, langkah itu harus dihitung betul-betul agar jangan sampai jatuh korban lebih banyak dan berpotensi menghilangkan nyawa sandera, kata Khairul Fahmi.
Dia juga berkata, sedari awal pemerintah dan TNI memang tidak hanya mengandalkan upaya persuasif untuk membebaskan pilot Philip Max Marthens.
Di sisi lain, operasi penyelamatan oleh pasukan khusus dijalankan dengan senyap kendati sifatnya baru sebatas pengintaian.
Namun jika di lapangan terlihat ada peluang untuk mendekati sasaran dan melakukan evakuasi dengan risiko minim, maka strategi pembebasan bisa berganti ke operasi penegakan hukum, ujarnya.
“Jadi ini masih satu kesatuan misi tapi tidak dibuka saja.”
“Kalau kita lihat kondisi pilot cukup baik, itu memberi ruang dan waktu bagi pemerintah dan aparat keamanan untuk mendesain atau merencanakan operasi yang lebih aman.”
Sumber gambar, Sebby Sambom
Anggota Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka memegang bendera Bintang Kejora.
TNI klaim sudah ketahui posisi sandera
Dalam konferensi pers di Jakarta, Kepala Pusat Penerangan TNI, Julius Widjojono, menyebut hanya ada satu prajurit yang tewas akibat kontak tembak dengan kelompok bersenjata pro-kemerdekaan di Distrik Mugi, Kabupaten Nduga, Papua Pegunungan, pada Sabtu (15/04).
Kontak tembak itu berlangsung ketika rombongan Satgas Yonif R 321/GT sedang mencoba menyisir dan mendekati lokasi penyanderaan pilot Susi Air.
Secara tiba-tiba, kata dia, terjadi serangan dari kelompok bersenjata yang mengakibatkan satu prajurit terjatuh ke kedalaman dan ketika anggota lain mencoba menolong malah mendapat serangan ulang.
Adapun kondisi prajurit yang lain belum diketahui.
Sumber gambar, ANTARA FOTO
Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Laksda TNI Julius Widjojono (kedua kiri) memberikan keterangan kepada wartawan di Balai Wartawan Puspen TNI, Cilangkap, Jakarta, Minggu (16/4/2023).
“Kami sulit menghubungi karena cuaca tidak menentu,” ujar Kepala Pusat Penerangan TNI, Julius Widjojono dalam konferensi pers di Jakarta, Minggu (16/04).
Julius tidak menerangkan berapa banyak anggota yang dikerahkan dalam operasi penyelamatan tersebut.
Tapi klaimnya, TNI sudah mengetahui posisi sandera.
“Kondisi pilot sudah diketahui areanya dan operasi sudah makin mengerucut dan terfokus. Yang menyulitkan operasi ini cuaca,” jelas Julius.
Soal insiden baku tembak yang terjadi pada Sabtu kemarin, dia berkata pihaknya akan melakukan evaluasi mendalam.
TPNPB-OPM: 12 anggota TNI tewas
Klaim berbeda disampaikan Juru Bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat -Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM), Sebby Sambom.
Kata dia, anggota TNI yang tewas dalam kontak senjata di sana mencapai 12 orang.
Penyerangan terhadap aparat, kata Sebby Sambom, dilakukan karena Panglima TNI Yudo Margono disebutnya tidak menempati janji untuk menempuh upaya persuasif dalam membebaskan pilot Susi Air.
“Panglima katakan tidak melakukan operasi militer, tapi di lapangan berbeda. Tentara menyisir kampung-kampung warga. Bagi kami, kalau kamu masuk maka kami beli,” imbuhnya.
“Kami punya hukum peran dan melakukan perang sesuai budaya. Nenek moyang kami datang membantu.”
Sumber gambar, Sebby Sambom
Salah satu pemimpin kelompok TPNPB-OPM di Ilaga, Kabupaten Puncak, Papua
Sebby berkata, pihaknya akan tetap melancarkan serangan sampai dialog berlangsung di meja perundingan untuk membicarakan tuntutan mereka soal kemerdekaan Papua.
Ia pun memastikan hingga saat ini kondisi pilot Philip Max Marthens baik.
“Pilot kami jamin pakaian dan makanannya. Kalau fisiknya tidak terlalu gemuk atau jadi kurus, itu normal. Kami biasa makan pisang, keladi, ubi. Tidak ada susu.”
Pengamat: ‘Pendekatan kekerasan hanya menyisakan nyawa’
Pengamat militer dari Universitas Paramadina, Al Araf, menilai peristiwa baku tembak yang menewaskan aparat dalam upaya penyelamatan pilot Susi Air kemarin harus menjadi pelajaran penting bagi Presiden Jokowi dan DPR untuk menempuh jalan negosiasi dan dialog dalam penyelesaian konflik di Papua.
Menurutnya, tidak ada yang diuntungkan dari konflik berkepanjangan.
Korban jiwa akan semakin berjatuhan baik dari aparat keamanan, kelompok pro-kemerdekaan, dan juga masyarakat sipil.
Ia juga berkata jika di Aceh, Poso dan Ambon pemerintah bisa mengambil upaya perdamaian maka semestinya cara serupa bisa diberlakukan di Papua, kata Al Araf.
Sumber gambar, Polda Papua
Kerusuhan di Dogiyai, Papua Tengah, yang dipicu oleh insiden kecelakaan yang menewaskan seorang balita.
“Kenapa Papua tidak mau? Itu buat saya aneh dan yang pantas disalahkan atas peristiwa kemarin adalah Presiden dan DPR.”
“Kasih mereka ruang untuk bicara bangun negosiasi.”
Baginya, cara-cara persuasif dan dialogis akan membuka ruang penyelesaian dalam jangka panjang ketimbang menggunakan pendekatan keamanan.
Tak ada yang salah berdialog dengan kelompok bersenjata yang menuntut referendum termasuk tokoh agama dan tokoh masyarakat, sambung Al Araf.
Sebagai perwakilan, pemerintah bisa menunjuk special envoy atau utusan khusus yang dipercaya kedua belah pihak seperti yang dilakukan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika menunjuk Jusuf Kalla untuk menjadi juru damai di Aceh.
“Tidak gampang tapi dilakukan. Jokowi dari lama sudah dibilang harus membentuk itu, tunjuk orang yang bisa membangun ruang komunikasi dengan orang Papua sehingga ada pendekatan lain selain militer.”
“Sudah cukup prajurit TNI tewas. Sekarang saatnya berpikir yang lebih ke depan dengan pendekatan persuasif. Itu loh.”
Kontak senjata antara TPNPB-OPM dan pasukan TNI
Pasukan TNI yang bertugas melakukan operasi penyelamatan pilot Susi Air, Philip Max Merhtens, dilaporkan terlibat kontak tembak dengan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) di wilayah Mugi-Mam, Kabupaten Nduga, Papua, pada Sabtu (15/04). Kelompok itu disebut pemerintah Indonesia sebagai kelompok separatis terorisme (KST).
Kabidpenum Puspen TNI Kolonel Sus Aidil dalam keterangan tertulis yang diterima BBC News Indonesia mengatakan, kontak tembak itu terjadi sekitar pukul 16:30 WIT antara KST dengan pasukan TNI dari satuan Batalyon Infanteri Yonif Raider 321/Galuh Taruna (Yonif R 321/GT) itu.
Yonif R 321/GT adalah Batalyon Infanteri yang berkualifikasi Raider berada di bawah kendali komando Brigade Infanteri 13/Galuh, Divisi Infanteri 1/Kostrad.
Di lain pihak, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat -Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) mengaku sebagai pihak yang bertanggung jawab atas peristiwa kontak tembak tersebut.
Juru Bicara TPNPB-OPM, Sebby Sambom mengeklaim telah menembak hingga tewas sembilan anggota TNI dan merampas sembilan pucuk senjata api.
“Pasukan TPNPB di bawah pimpinan Perek Jelas Kogeya dan pasukannya berhasil tembak mati sembilan anggota TNI Dan juga rampas sembilan pucuk senjata api,” kata Sebby dalam keterangannya Minggu (16/04).
Sumber gambar, Sebby Sambom
Satu orang anggota pasukan TPNPB-OPM berdiri di depan pesawat Susi Air yang dibakar.
Sebby menambahkan, kontak senjata terjadi saat pasukan OPM menyerang pos militer di Distrik Yal, Kabupaten Nduga, Sabtu (15/04).
Sedangkan informasi dari TNI, peristiwa itu terjadi di wilayah Mugi, yang diketahui sebagai kampung halaman dari Egianus Kogoya, pimpinan tertinggi OPM di wilayah Ndugama.
Sebby menceritakan, dia menerima informasi kejadian tersebut dari Egianus pada Minggu, pukul 10:40 WIT.
Terkait kontak tembak tersebut, Sebby menegaskan, pihaknya telah menyampaikan kepada pemerintah Indonesia dan Selandia Baru, “Kami sudah ajukan negosiasi damai namun sudah dua belum belum menjawab surat-surat kami,” ujarnya.
“Dan Pemerintah Indonesia melalui militer dan polisinya tidak mengindahkan permintaan dan tuntutan, namun melakukan operasi militer yang masif di Ndugama,” ujar Sabby.