Keajaiban Prasasti Turyyan di Desa Tanggung
Di tengah hijaunya hamparan sawah yang menghiasi kawasan Desa Tanggung, Kecamatan Turen, Kabupaten Malang, terdapat sebuah bangunan kecil yang menjadi perhatian khusus. Bangunan ini tidak seperti rumah atau pondok istirahat petani biasanya, melainkan merupakan situs cagar budaya bernama Situs Turyyan. Lokasi situs ini berada di tengah-tengah area persawahan yang luas, sehingga menjadi pembeda dari lingkungan sekitarnya.
Situs Turyyan adalah peninggalan sejarah dari zaman kerajaan Medang. Nama raja yang terkenal pada masa itu adalah Mpu Sindok. Prasasti yang terletak di sana ditulis menggunakan aksara Jawa Kuno dan memiliki ukuran yang cukup besar, yaitu tinggi 130 sentimeter, lebar 118 sentimeter, dan tebal 21 sentimeter. Sayangnya, tulisan tersebut mulai pudar akibat erosi dan waktu yang berlalu.
Selain prasasti, di sekitar lokasi juga terdapat beberapa peninggalan sejarah lainnya, seperti lingga yoni dan arca dewa Siwa. Lingga yoni ini dianggap sebagai simbol kesuburan dewa Siwa dan istrinya, serta sering kali dapat digerakkan jika disatukan. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya nilai spiritual dan religius dari situs ini dalam masyarakat Jawa kuno.
Menurut informasi yang diberikan oleh juru kunci Prasasti Turyyan, Amanatus Zuhriah Romadhonia, prasasti Turyyan berisi surat permohonan dari Dang Atu pu Sahitya, pemimpin Desa Turyyan, kepada Raja Mpu Sindok. Permohonan tersebut adalah agar diberi lahan untuk mendirikan bangunan suci. Surat tersebut ditulis pada tahun 15 Śuklapaksa 851 Śaka atau 24 Juli 929 Masehi.
Hasil alih aksara dari Filolog asal Belanda, J.G. de Casparis, dalam bukunya berjudul Where Was Pu Sindok’s Capital Situated?, menyebutkan bahwa selain permohonan lahan, prasasti ini juga menjelaskan tentang pengelompokan para pejabat pemerintahan berdasarkan strata jabatan dan pangkat mereka. Akhirnya, Raja Mpu Sindok mengabulkan permintaan tersebut dengan memberikan sebidang tanah di sebelah barat Sungai Jaruman, yang saat ini lebih dikenal sebagai Kali Blugan.
Namun, sayangnya, saat ini tidak ditemukan bekas bangunan suci yang pernah ada di lokasi tersebut. Menurut Amanatus, pajak yang diberikan oleh Desa Turyyan pada masa itu berupa tiga suwarna emas dan satu kati. Dari jumlah ini, tiga suwarna emas diberikan kepada Mpu Sindok untuk mendirikan bangunan suci. Selain itu, Mpu Sindok juga memberikan syarat agar warga membuat bendungan terusan dari Sungai Jaruman.
Sisa-sisa bendungan ini masih bisa ditemui di sisi utara Desa Tanggung, Kecamatan Turen, yang berbatasan dengan Desa Jeru. Saat ini, bendungan tersebut dikenal sebagai Kalimati dan telah menjadi tempat pembuangan sampah oleh masyarakat setempat.
Bagi warga setempat, Prasasti Turyyan juga dikenal dengan nama Watu (Batu) Godeg. Ada tiga alasan utama mengapa prasasti ini dinamakan demikian. Pertama, adanya Lingga Yoni yang berada di sekitar prasasti, sebagai lambang kesuburan dewa Siwa dan istrinya. Kedua, konon berdasarkan kepercayaan orang Jawa kuno, batu prasasti ini sering bergerak setiap malam Jumat Legi. Ketiga, masyarakat umum yang sering datang ke lokasi ini menyebutnya Watu Godeg karena tidak bisa membaca tulisan pada batu tersebut, sehingga mereka hanya menggeleng-geleng atau “godeg-godeg” dalam bahasa Jawa.