Langkah Tom Lembong Melaporkan Hakim ke Mahkamah Agung
Mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong atau yang dikenal dengan nama Tom Lembong, resmi melaporkan tiga orang hakim yang memutuskan perkara hukumnya ke Mahkamah Agung (MA). Putusan tersebut menjatuhkan vonis 4,5 tahun penjara terhadap Tom Lembong. Langkah ini dianggap sebagai bentuk perlawanan terhadap apa yang ia anggap sebagai pelanggaran serius terhadap asas praduga tak bersalah dalam sistem peradilan Indonesia.
Pengumuman tentang laporan ini dilakukan oleh kuasa hukum Tom Lembong, Zaid Mushafi, pada Senin, 4 Agustus 2025, di Gedung MA, Jakarta Pusat. Ia menyatakan bahwa seluruh majelis hakim yang memutus perkara Pak Tom dilaporkan karena tidak ada dissenting opinion (pendapat berbeda) dalam putusan tersebut.
Ketiga hakim yang dilaporkan adalah Dennie Arsan Fatrika sebagai Ketua Majelis, serta dua hakim anggota yaitu Purwanto S. Abdullah dan Alfis Setyawan. Zaid menegaskan bahwa laporan ini bukan untuk menyerang institusi hukum, tetapi sebagai permintaan evaluasi agar kejadian serupa tidak terulang kembali.
Tuduhan Pelanggaran Prinsip Dasar Hukum
Menurut Zaid, salah satu hakim terlihat lebih mengedepankan asas presumption of guilt (dugaan bersalah), bukan presumption of innocence (dugaan tidak bersalah). Hal ini membuat pihak pembela merasa bahwa prinsip dasar hukum telah diabaikan sejak awal proses persidangan.
Dalam sistem hukum yang adil, seorang terdakwa dianggap tidak bersalah hingga terbukti bersalah di pengadilan. Namun, dalam kasus ini, pihak pembela menilai bahwa prinsip itu telah diabaikan sejak awal proses persidangan.
Abolisi Presiden dan Implikasi Politik
Tom Lembong sendiri telah menerima abolisi dari Presiden Prabowo Subianto pada 30 Juli 2025, sebagaimana tercantum dalam Surat Presiden Nomor 42/Pres072725. Abolisi ini dikeluarkan bersamaan dengan amnesti politik kepada Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, menandakan adanya sinyal kuat dari pemerintah untuk meredakan ketegangan politik pascapemilu.
Seorang dosen hukum tata negara dari Universitas Indonesia, Refly Harun, dalam pernyataannya kepada media pada 2 Agustus lalu, menyebut langkah ini sebagai bentuk koreksi politik terhadap proses hukum yang dinilai kontroversial.
“Abolisi Presiden bukan hanya tindakan hukum, tapi juga sinyal politik bahwa ada yang perlu dibenahi dalam praktik penegakan hukum kita,” ujar Refly saat diwawancarai salah satu stasiun televisi nasional.
Upaya Perbaikan Sistem Hukum
Langkah Tom Lembong melaporkan hakim ke Mahkamah Agung tidak hanya terkait dengan perkara pribadinya. Ia berharap kasus ini bisa menjadi momentum perbaikan sistem hukum secara menyeluruh.
Tujuannya adalah agar ke depan hukum kita lebih adil, dan tidak ada lagi yang mengalami proses hukum yang keliru seperti dirinya. Zaid menekankan bahwa upaya ini disebut sebagai bagian dari ikhtiar membangun kepercayaan publik terhadap institusi peradilan, yang belakangan ini kembali menjadi sorotan akibat berbagai putusan kontroversial.
Tantangan dan Harapan Masa Depan
Peristiwa ini menunjukkan bahwa masalah dalam sistem peradilan masih menjadi isu penting yang perlu mendapatkan perhatian serius. Dengan adanya laporan terhadap hakim, diharapkan akan muncul transparansi dan akuntabilitas dalam setiap putusan hukum yang diberikan.
Selain itu, langkah ini juga menjadi indikasi bahwa masyarakat mulai lebih sadar akan pentingnya hak-hak dasar dalam proses hukum. Dengan demikian, harapan besar dititipkan agar sistem hukum di Indonesia semakin jujur, adil, dan dapat dipercaya oleh semua pihak.