InfoMalangRaya.com | HARI Kamis (27/4/2023) bertepatan 6 Syawal 1444H, saya mendapat pengalaman ringan tapi sangat berkesan.
Ceritanya, salah seorang anak kami, usia 21 bulan, jatuh sakit. Saya pun membawanya ke sebuah Puskesmas di Kelurahan Teritip, Kecamatan Balikpapan Timur, Kota Balikpapan, Kalimantan Timur untuk diperiksa.
Awalnya saya mengajak istri untuk turut serta. Namun karena kondisi istri sedang kurang sehat plus lelah, akhirnya saya pergi sendiri membawa si bayi.
Singkat cerita, saya pun tiba di Puskesmas. Sembari menggendong bayi, saya masuk ke ruangan pendaftaran dengan satu harapan utama: sang bayi dapat diketahui apa penyakitnya dan bagaimana penanganannya.
Rupanya Puskesmas sudah ramai. Saat saya masuk Puskesmas, tampak beberapa pengunjung dan pasien menoleh ke arah saya. Ada yang sebatas melihat sekilas, ada yang memperhatikan mungkin agak seksama. Saya bersikap biasa saja. Gak ada yang istimewa bagi saya.
Usai mendapatkan nomor urut ke-28, saya duduk pada salah satu kursi. Sembari menunggu panggilan, saya tetap menggendong bayi berumur 1,9 tahun ini. Entah bagaimana, muncul perasaan bahwa beberapa orang memperhatikan saya. Bukan cuma melihat 1-2 kali, tapi berkali-kali. Terbukti, beberapa kali saya beradu tatapan mata dengan salah seorang ibu berjilbab. Tapi, beradu tatapan, sepertinya hal yang biasa terjadi dalam dunia perantrean dimanapun, hehe…
Karena sang bayi terlihat berkeringat, saya menurunkannya dari gendongan, membuka jaketnya, dan menempatkannya di kursi sebelah. Sesekali saya kasih dodotnya biar gak kehausan.
Bocah kecil ini tampak anteng bersama Abinya. Memang, saya sudah cukup terbiasa membawanya sendirian tanpa ditemani Umminya.
Singkat cerita lagi, saya dipanggil petugas untuk mengikuti beberapa prosedur sebelum kemudian sang bayi diperiksa dokter.
Bla… Bla… Bla…
Petugas, perawat, dan dokter di Puskesmas Teritip ini ramah-ramah. Masya Allah deh!
Kemudian, usai pemeriksaan, dokter mengarahkan saya untuk membawa sang bayi ke Poli Gizi yang terletak di lantai dua. Saya menuruti arahan tersebut. Sejumlah barang perlengkapan bayi (popok, minuman, makanan, tisu, dll) yang disimpan dalam tas kain, tak lupa saya bawa ke lantai dua.
Tiba di ruang Poli Gizi, saya masuk sembari mengucapkan salam. Begitu saya masuk, petugas di dalam ruangan itu terlihat cukup kaget. Kenapa?
Rupanya mereka tampak heran karena yang masuk ternyata seorang pria, seorang bapak, yang menggendong seorang bayi. Sendirian pula. Saya pun sempat keki. Mungkin selama ini yang masuk ruangan itu adalah ibu membawa anaknya. Memang, mayoritas pengunjung Puskesmas ini adalah perempuan. Hanya segelintir laki-laki.
Bahkan saya sempat mendengar salah seorang petugas di ruang Poli Gizi itu bertanya, “Mana istrinya?”, kurang lebih seperti itu.
Menjawab –mungkin– keheranan atau rasa penasaran itu, saya pun menjelaskan bahwa istri saya sedang tidak bisa ikut karena satu dan lain hal, bla…bla…bla….
Mereka pun mafhum.
Di Poli Gizi ini, sang dokter/ahli gizi –saya tidak sempat melihat/mencatat/menanyakan namanya– mulai menjalankan tugasnya. Menimbang dan mengukur tinggi anak saya, memberikan sejumlah arahan, masukan, catatan, menjawab pertanyaan saya, dan lain sebagainya. Penuh keramahan!
Proses penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi badan anak saya berjalan lancar. Sang bayi sangat kooperatif mengikuti arahan Abinya. Mempermudah tugas Bu Dokter.
Sempat sang bayi agak rewel, mungkin karena sudah kelamaan di Puskesmas. Ya! Antrean yang cukup panjang dan lama tadi tentu cukup menguras energi bayi tak berdosa ini, apalagi kondisinya sedang tidak baik-baik saja.
Alhamdulillah! Di Poli Gizi, saya diberikan sebungkus vitamin dan dua kotak biskuit khusus bayi. Menurut dokter, berat dan tinggi bayi saya perlu ditingkatkan agar sesuai dengan perkembangan ideal anak. Kira-kira begitu istilah mudahnya yang bisa saya tuliskan.
Keluar dari Poli Gizi, barang bawaan saya pun bertambah. Jika sebelumnya cuma menggendong bayi dan tas selempang plus tas kain kecil, kali ini ada tambahan satu kompek besar berisi dua kotak biskuit bayi.
Kelar urusan dengan dokter/ahli gizi dan dokter umum, saya pun keluar untuk mengambil obat di loket khusus.
Saat di tempat pengambilan obat, sang bayi saya turunkan dan dudukkan di kursi. Saya memang belum memasukkannya ke gendongan. Maklum, bagi saya agak ribet kalau digendong terus, sementara banyak tetek bengek yang harus diurus.
Dalam “kerepotan” seperti itu, rupanya ada salah seorang wanita pengunjung Puskesmas –yang datang bersama seorang (diyakini) suaminya— memperhatikan saya. Saya sebut dia “memperhatikan” karena bukan sekilas saja melihat saya dan bayi ini. Tapi berkali-kali. Saya pun membalas tatapannya dengan ramah, selayaknya tata krama dalam kehidupan sosial bermasyarakat.
Selesai mengambil obat dari petugas, saya undur diri. “Permisi, Bu, Pa!” ujar saya kepada sepasang suami istri yang duduk di dekat saya tadi.
Dugaan saya, perempuan tadi memperhatikan kami mungkin karena merasa “heran” atau apalah melihat ada seorang pria menggendong bayi seorang diri, dengan segala kerempongannya, tanpa kehadiran seorang istri saya atau ibu dari sang bayi.
Atau mungkin ada sesuatu lain pada diri saya yang memancing perhatian orang tadi? Apa gerangan? Atau jangan-jangan saya cuma terlampau PD, percaya diri. GeeR, gede rasa.
Sambil memikirkan hal itu, saya tetap fokus pada misi utama selanjutnya, yaitu memastikan sang bayi bisa segera pulang. Berjam-jam dia ikut Abinya, pasti kelelahan. Meskipun secara umum, bayi perempuan ini terbilang anteng tanpa Umminya (padahal, selama sakit sekitar dua pekan ini, kalau di rumah dia selalu merengek dan nempel ke Umminya).
Saat bersiap naik ke kendaraan roda dua di area parkir, saya menyempatkan diri menengok ke arah tempat tunggu pengambilan obat tadi. Rupanya perempuan tadi masih terlihat memperhatikan saya. Saya pun bersikap biasa saja, merasa seolah-olah tidak tahu diperhatikan.
Saat mulai keluar kompleks Puskesmas, saya sempatkan kembali menengok ke arah tempat tunggu pengambilan obat tadi. Ternyata, perempuan tadi lagi-lagi masih terlihat memperhatikan saya.
Waduh! Kenapa sudah itu?! Tapi ah, masa bodoh aja, batinku, lalu mulai melaju pelan di jalanan area Pasar Gunung Tembak itu.
Dalam perjalanan pulang, pikiranku masih “tersita” oleh perhatian dan sikap sejumlah orang di Puskesmas tadi. Mulai dari kekagetan petugas Puskesmas hingga perhatian warga terhadap kami: seorang bapak dan seorang bayi.
Hal Biasa
Di keluarga kami, adalah hal biasa seorang bapak/suami mengurus keperluan anak-anak. Mulai dari -maaf- menceboknya, memandikannya, memakaikan baju, membawanya jalan-jalan, dan seterusnya. Bahkan sekalipun jika tanpa bantuan istri (ibunya anak-anak).
Hal demikian pun berlaku bagi banyak keluarga di sekitaran lingkungan saya di Gunung Tembak, khususnya di Kampus Induk Pondok Pesantren InfoMalangRaya.
Maka, ketika saya merasa menjadi “pusat” perhatian di Puskesmas tadi, saya bertanya-tanya sendiri, ada apa gerangan. Apa ada yang salah atau tidak biasa? Entahlah!
Pakar parenting, Teh Ida S Widayanti, pernah menyampaikan pentingnya ayah dan ibu berbagi peran dalam rumah tangga. Keduanya ibarat jembatan yang kokoh dalam menopang kehidupan berkeluarga.
Istri saya pernah berkata, “Abi harus menjadi lelaki pertama yang dicintai anak perempuannya.” Hal ini untuk menghindari sang anak mencintai lelaki lain yang bukan mahramnya.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pun telah mengajarkan pentingnya seorang ayah terlibat aktif dalam mengurus keluarga, termasuk anak.*
Abu Fawwaz | Kepala Rumah Tangga