Penganiayaan Santri di Pondok Pesantren Darul Mujtaba, Malang
Penganiayaan terhadap santri kembali menjadi perhatian publik, kali ini di Pondok Pesantren Darul Mujtaba yang berada di Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang. Peristiwa ini melibatkan seorang pengasuh bernama B sebagai tersangka utama. Kejadian ini menimpa seorang santri berinisial ADR, usia 14 tahun, yang berasal dari Kecamatan Wonosari.
ADR mengaku mengalami kekerasan fisik selama dua insiden berbeda. Dalam kejadian tersebut, ia dipukul sebanyak 34 kali menggunakan rotan. Akibat pukulan itu, luka pada kakinya terinfeksi dan mulai membusuk. Pemukulan terakhir terjadi saat malam takbiran Idul Adha, awal Juni 2025. Saat itu, ADR dipukul karena keluar pondok hanya untuk membeli makanan akibat lapar.
Laporan resmi mengenai kasus ini baru dibuat pada 20 Juni 2025 setelah kondisi luka ADR semakin memburuk. Polres Malang kemudian melakukan penyidikan dan menyusun perkara pada 30 Juli 2025. Hasil visum menunjukkan bahwa B ditetapkan sebagai tersangka dengan dugaan pelanggaran Pasal 80 ayat (1) dan (2) UU Perlindungan Anak. Ancaman hukuman maksimalnya mencapai 5 tahun penjara.
Namun, kasus ini masih dalam proses penyelidikan lebih lanjut. Kanit PPA Satreskrim Polres Malang, Aiptu Erlehana, menyatakan bahwa ada kemungkinan adanya pelaku lain yang terlibat. Hal ini didasarkan pada pengakuan beberapa saksi, termasuk santri lain, yang mengungkapkan bahwa mereka juga pernah mengalami kekerasan dari pengasuh lain di ponpes yang sama.
Sebuah video klarifikasi seorang santri yang mengaku dipukul oleh ustaz lain sempat viral. Dalam video tersebut, santri tersebut tampak didampingi kedua orang tuanya, memperkuat kesaksian yang sedang diselidiki oleh pihak kepolisian. Sampai saat ini, polisi masih menerima satu laporan resmi. Namun, masyarakat yang merasa menjadi korban diminta untuk berani melapor.
“Kalau ada masyarakat yang merasa pernah menjadi korban, ya monggo kalau mau laporan,” ujar Erlehana. Penyelidikan akan diperluas jika ada fakta baru dan laporan tambahan. Fokus awal tetap pada penanganan terhadap tersangka B, sambil membuka kemungkinan penetapan tersangka baru apabila cukup bukti ditemukan.
Kuasa hukum tersangka, Muhammad Wahyudi Arifin, telah mengonfirmasi bahwa kliennya telah ditetapkan sebagai tersangka. Ia tidak memberikan komentar lebih jauh terkait perkembangan kasus ini.
Peristiwa seperti ini kembali mengingatkan pentingnya perlindungan anak di lingkungan pesantren. Pendidikan berbasis agama seharusnya memberikan keteladanan dan rasa aman bagi para santri, bukan justru menjadi tempat munculnya kekerasan yang membekas secara fisik dan psikologis. Dengan demikian, upaya pencegahan dan perlindungan terhadap anak di lingkungan pesantren harus terus ditingkatkan.