Surabaya (IMR) – Fenomena banyak rumah tinggal dengan satu alamat masih marak terjadi di Surabaya, khususnya di kawasan padat penduduk. Dalam satu alamat, tercatat bisa dihuni lebih dari tiga Kepala Keluarga (KK), bahkan mencakup bangunan berbeda dalam satu deret.
Permasalahan ini dirasakan langsung oleh Hari Agung, Ketua RT 2 RW 7 Kelurahan/Kecamatan Tegalsari, yang setiap hari menghadapi tantangan administrasi kependudukan. Dia mengungkap bahwa situasi serupa tak hanya terjadi di wilayahnya, tapi juga jamak dialami para ketua RT lain di Kota Pahlawan.
“Rumah saya sendiri malah banyak KK, ada orang tua, kakak, saya, dua adik, dan nanti dua adik saya akan saya coret. Ini realita yang bikin administrasi jadi lucu sekaligus runyam,” ujar Agung sambil tertawa, Sabtu (26/7/2025).
Agung menjelaskan, salah satu permasalahan utama adalah satu alamat yang dipakai untuk banyak rumah. Sering kali rumah induk dipecah menjadi unit-unit kontrakan, kos-kosan, atau tempat tinggal keluarga yang sudah menikah, tanpa perubahan data alamat pada dokumen kependudukan.
“Alamat resminya masih sama, padahal kondisi fisiknya sudah terpisah. Ini bikin data tidak akurat dan bantuan sosial pun bisa nyasar,” katanya.
Tak hanya itu, satu rumah yang dihuni banyak KK juga menimbulkan keruwetan tersendiri. Alasan ekonomi dan tradisi tinggal bersama keluarga besar membuat banyak keluarga bertahan dalam satu bangunan fisik yang sama.
“Administrasi makin ribet karena satu alamat melayani kebutuhan administratif dari beberapa KK. Verifikasi data buat bantuan atau dokumen bisa sangat susah,” katanya.
Dampak dari situasi ini dirasakan pada dua sisi yakni sisi administratif dan operasional. Dari sisi administratif, data yang dipegang RT sering tidak sesuai dengan catatan di kelurahan atau kecamatan, menyulitkan pembuatan surat domisili dan sensus program pemerintah.
“Data RT sama kelurahan nggak nyambung. Mau bikin surat domisili aja bingung karena alamatnya enggak jelas, mana rumah yang mana,” ujar Agung.
Sementara itu, secara operasional, banyak kesulitan muncul dalam pendataan hingga komunikasi antarwarga. Bahkan, petugas pendataan dari pemerintah pun sering dibuat kebingungan dan harus dikawal agar tidak salah masuk rumah.
“Petugas survei sering nyasar, kudu dikawal biar nggak kesel. Undangan rapat juga sering nggak sampai, atau malah nyangkut ke yang bukan tujuannya,” katanya.
Permasalahan ini, menurut Agung, sudah saatnya mendapat perhatian serius dari Pemkot Surabaya. Dia mendorong adanya penataan ulang data kependudukan dan pembaruan alamat yang sesuai dengan kondisi fisik bangunan untuk menjamin keakuratan layanan publik.
“Harus ada solusi dari atas, jangan cuma beban di tingkat RT. Kita ini paling bawah, tapi kena dampaknya paling duluan dan paling besar,” pungkasnya. [asg/ian]