MASALAH gangguan penglihatan pada anak, khususnya kelainan refraksi seperti rabun jauh dan rabun dekat, terus menjadi perhatian serius. Data menunjukkan sekitar 3,6 juta anak Indonesia mengalami kelainan refraksi, namun tiga dari empat di antaranya belum mendapatkan kacamata koreksi yang dibutuhkan. Kondisi ini berpotensi menghambat proses belajar dan perkembangan psikologis anak di usia sekolah.
Masalahnya, pemeriksaan penglihatan di banyak sekolah di Indonesia juga masih terbatas. Sehingga tak jarang para guru, juga orang tua sulit mendeteksi gangguan penglihatan anak itu.
Untuk mengatasi masalah itu, dokter Spesialis Mata sekaligus Project Leader dan peneliti utama Cermata, Kianti Raisa Darusman merilis platform digital Cermata. “Platform ini dirancang sebagai solusi ilmiah yang memungkinkan skrining kesehatan mata dan jiwa anak dilakukan secara mudah, inklusif,” kata Kianti pada 9 Oktober 2025.
Cermata merupakan inovasi digital hasil kolaborasi Health Collaborative Center (HCC), Laulima Eye Health Initiative, dan Indonesian Health Development Center (IHDC). Kianti menilai Cermata bisa menjadi cara efektif untuk deteksi dini gangguan penglihatan anak. Platform ini merupakan adaptasi lokal dari WHOeyes, yang dikembangkan menjadi sistem skrining berbasis web agar dapat menjangkau lebih banyak sekolah, termasuk sekolah dasar dan lembaga pendidikan inklusif.
“Cermata merupakan pendekatan skrining yang belum pernah dilakukan di Indonesia. Modelnya holistik karena menggabungkan pemeriksaan kesehatan penglihatan dan kesehatan jiwa anak, dua faktor penting dalam pembentukan kualitas sumber daya manusia,” kata Kianti.
Melalui serangkaian uji validasi terhadap lebih dari 1.200 siswa SD di Jakarta, Cermata terbukti mampu memperluas cakupan pemeriksaan serta meningkatkan efektivitas deteksi dini gangguan penglihatan dan gangguan emosional yang mungkin dialami anak selama masa belajar.
Mantan Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek dalam acara peluncuran Cermata/HCC
“Pendekatan ini tidak hanya meningkatkan jangkauan skrining, tetapi juga membantu guru mengenali anak-anak yang mungkin memerlukan perhatian khusus,” tambah Kianti, yang merupakan dokter spesialis mata anak.
Dalam pelaksanaan uji coba yang berlangsung Mei hingga Oktober 2025, tim peneliti melakukan studi pendahuluan pada 1.254 siswa SD dan SLB, melibatkan 11 pakar multidisiplin dari bidang kesehatan mata, kesehatan primer, psikologi, dan pendidikan, serta melatih 128 pendamping anak untuk mendampingi proses skrining. Dari hasil tersebut, 849 anak berhasil disaring secara langsung, dan beberapa di antaranya menerima kacamata koreksi sesuai hasil pemeriksaan.
Selain pemeriksaan mata, Cermata juga mengintegrasikan kuesioner PedEyeQ, yang berfungsi menilai fungsi penglihatan, keterbatasan aktivitas akibat gangguan mata, hingga dampaknya terhadap kondisi emosional dan sosial anak.
Dari hasil awal, ditemukan bahwa 40 persen anak mengalami gangguan penglihatan, sementara 70 persen dari kelompok tersebut menunjukkan tanda-tanda gangguan emosional. Selain itu, setengah dari total anak yang diperiksa memiliki masalah perilaku, dan sekitar 27 persen memperlihatkan gejala hiperaktivitas. “Hasil ini memperkuat hubungan erat antara kesehatan penglihatan dan keseimbangan mental anak di lingkungan sekolah,” kata Kianti.
Mantan Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek, yang menjadi penasihat utama program ini sekaligus Ketua Dewan Pembina IHDC, menilai Cermata sebagai langkah maju dalam sistem deteksi kesehatan anak di Indonesia. “Dengan digitalisasi, pemeriksaan kesehatan mata dapat dilakukan di mana saja, kapan saja, termasuk di sekolah dan rumah. Ini menjawab tantangan akses layanan yang selama ini menjadi kendala,” ujarnya.
Menurut Nila, Cermata juga dirancang inklusif untuk anak dengan disabilitas. Platform ini menggunakan alat bantu huruf E cetak dan telah melalui proses penerjemahan serta validasi ilmiah agar dapat digunakan secara luas. Ia menegaskan, inovasi ini bukan sekadar alat pemeriksaan, tetapi gerakan kolaboratif yang melibatkan guru, orang tua, dan tenaga kesehatan sebagai mitra dalam menjaga kesehatan anak. “Hasil skrining dari Cermata bisa menjadi pintu awal rujukan bagi anak ke puskesmas atau fasilitas kesehatan lanjutan,” katanya.
Kianti berharap Cermata bisa menjadi dari kebijakan nasional kesehatan dan pendidikan anak. Dukungan dari lembaga pendidikan, organisasi sosial, dan sektor swasta diharapkan mampu memperkuat keberlanjutan program ini, sebagai bagian dari strategi nasional peningkatan kualitas SDM menuju Indonesia Emas 2045.
Tim Ahli pada Direktorat Sekolah Dasar Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah Didik Tri Yuswanto mendukung inovasi tersebut. Ia mengatakan Cermata bisa berkolaborasi dengan aplikasi deteksi kesehatan lain yang telah dimiliki kementerian, seperti aplikasi Si Dali untuk gangguan penglihatan dan Si Jiwa untuk pemeriksaan kesehatan mental peserta didik.
“Kami akan mencoba mengompilasi dua aplikasi ini dengan sistem skrining digital, seperti Cermata yang dikembangkan bersama Kementerian Kesehatan dan WHO,” kata Didik.
Ia pun menilai bahwa kolaborasi ini bisa menjadi momentum untuk mengoptimalkan kembali peran Unit Kesehatan Sekolah (UKS) sebagai garda depan dalam pelayanan kesehatan dasar bagi peserta didik. “Selama ini UKS ada, tetapi sering tidak aktif. Melalui pemanfaatan aplikasi digital seperti Cermata, kami ingin menghidupkan kembali kegiatan UKS agar lebih konkret dalam pelayanan kesehatan di sekolah,” katanya.
Pihaknya berencana menjadikan pelatihan penggunaan aplikasi digital ini sebagai bagian dari peningkatan kompetensi tenaga pendidik dan kader kesehatan sekolah. Dengan begitu, lanjutnya, guru dan siswa bisa melakukan pemeriksaan mata secara mandiri dengan panduan daring. “Pelatihannya sederhana, tidak perlu alat mahal, dan bisa dilakukan bersamaan dengan kegiatan UKS atau kelas dokter kecil,” katanya.
Walau begitu, ia pun menilai masih ada tantangan bila penerapan sistem deteksi dini penglihatan mata anak itu dilakukan secara digital. Ia mengingatkan masih ada keterbatasan jaringan internet di sejumlah daerah Indonesia.