Entah kenapa, setiap menyantap Sego Jagung, saya selalu diingatkan kembali untuk berpikir realistis. Kembali membumi. Ngrumangsani. Mengajak untuk nggrayai jithok e dewe. Kenapa? Karena berpikir realistis membutuhkan kejujuran kepada diri sendiri. Juga tekad untuk menjaga disiplin ketat kepada diri sendiri. Misal, jika memang tidak punya uang, maka manfaatkanlah tenaga, waktu dan pikiran sebaik-baiknya. Jangan tidak punya uang, tetapi bermalas-malasan. Apalagi, maunya jalan pintas.
Sebagai seorang yang dibesarkan di desa, tentu saya sangat akrab dengan Sego Jagung. Hampir setiap hari makan Sego Jagung. Saya hafal betul Sego Jagung masakan Ibu. Selalu khas dan mengandung sesuatu yang ghaib. Jenis keghaiban yang yang hampir setara dengan rasanya mencium tangan Ibu. Ada energi. Ada doa-doa yang tak terbatas. Kasih sayang Ibu. Mungkin karena hal itu, setiap menyantap Sego Jagung saya selalu diingatkan untuk selalu tunduk dan patuh kepada Ibu. Menjadi lebih realistis. Membumi. Tanpa ambisi.
Seperti sore kemarin, ketika saya bersama Mas Dwi Hari Cahyono dan Gus Farih, sowan ke rumah Bu Nyai Lathifah Shohib. Dihidangkan Sego Jagung. Dengan aneka lauk tahu, tempe, lele goreng dan kuah pedas khas pondok pesantren Denanyar. Sego Jagung yang dihidangkan tersebut, dalam suasana syawalan, punya makna firasatnya tersendiri. Padahal, sebelumnya saya mudik ke desa di Mojokerto, Ibu saya malah menghidangkan ikan laut bakar. Karena pesanan anak perempuan saya, cucu kesayangannya, yang memang doyan makan ikan bakar. Jadi tidak terhidangkan Nasi Jagung saat mudik lebaran lalu.
Sebagai seorang Anggota DPR RI, Bu Nyai Lathifah Shohib jelas hidup sangat sederhana, namun penuh wibawa nan bijaksana. Sambil menikmati hidangan Sego Jagung, kita semuanya banyak mendapatkan ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan. Yang disampaikan oleh Bu Nyai dengan nada bicara sederhana, diselingi humor dan seperti seorang Ibu yang sedang ngemong anak-anaknya. Bukan hanya kepada Gus Farih yang menjadi putranya, kepada saya dan Mas Dwi pun, Bu Nyai memperlakukan kami seperti anak-anaknya sendiri.
Mas Dwi Hari Cahyono, atau yang akrab disapa Mas Dwi, saat ini memang banyak didorong dan didukung oleh banyak pihak untuk maju sebagai Calon Walikota Malang dalam Pilkada Kota Malang 2024. Rencananya, akan berpasangan dengan Gus Farih sebagai Calon Wakil Walikota Malang. Mas Dwi dan Gus Farih, memang sudah memohon restu dari Bu Nyai Lathifah Shohib. Bagi Bu Nyai Lathifah Shohib, Mas Dwi bukan orang baru. Dan memang sudah lama dianggap seperti seorang anaknya sendiri.
Sore kemarin, kami semuanya justru tidak membahas politik dan Pilkada di Malang Raya. Karena santer juga isu-isu yang berkembang, bahwa Bu Nyai Lathifah Shohib akan maju pada Pilkada Malang Raya. Entah di Kabupaten Malang maupun di Kota Malang. Bu Nyai Lathifah Shohib juga mendapatkan banjir dukungan dari berbagai pihak. Tapi sore kemarin, kita sama sekali tidak membahas politik dan Pilkada di Malang Raya. Juga tidak membahas perkembangan dinamika politik nasional. Justru, yang kami bahas adalah: Sawah atau Tegalan.
Ya, kami membahas sawah. Petani. Pertanian. Dan berbagai hasil-hasil pertanian. Termasuk Sego Jagung. Mengupas Sego Jagung. Dari mulai bahan-bahannya, proses pembuatannya, hingga makna dan filosofinya. Sego Jagung adalah simbol utama ketahanan pangan nasional. Selama Sego Jagung masih ada, berarti Bangsa Indonesia tidak terjajah secara pangan. Akankah Bangsa Indonesia dijajah oleh Pizza, Burger atau makanan dari luar negeri yang lainnya? Selama masih ada Sego Jagung, berarti Bangsa Indonesia masih aman dalam hal kemerdekaan dan ketahanan pangan.
Yang membuat saya tercengang, ternyata Sego Jagung adalah akar dari Budaya Menabung di Nusantara. Sejak sebelum ada NKRI, orang-orang di Nusantara sudah menabung Padi dan Jagung di Lumbung. Menyimpan atau menabung pangan. Yang utama menabung Padi dan Jagung di Lumbung. Agar ketika dimasak menjadi Sego Jagung, bisa semakin Punel dan Enak. Ada aroma khas harum Sego Jagung ketika hasil simpanan/ tabungan padi dan jagung dimasak. Bukankah hal tersebut sebenarnya menjadi akar Budaya Ketahanan Pangan? Bukan sekedar kearifan lokal semata-mata.
Lantas, kami semuanya bercanda, bagaimana kalau Kota Malang dipandang sebagai sebuah lahan persawahan yang luas? Tentu saja, yang dimaksudkan adalah pandangan secara filsafat kehidupan. Mencoba menggapai pencerahan dan kebijaksanaan. Jika diumpamakan Kota Malang sebagai lahan persawahan yang luas, lantas ditanami Padi dan Jagung, kira-kira bisa menyediakan berapa banyak stok lumbung yang siap dimasak menjadi Sego Jagung? Sekali lagi, ini pandangan Filsafat Kehidupan. Untuk direnungkan. Diambil hikmahnya. Nah, seserius itu yang dibahas. Tapi disampaikan dengan percakapan yang penuh humor, kekeluargaan dan welas asih seorang Ibu kepada anak-anaknya.
Ah, alangkah beruntungnya bagi orang-orang yang selalu mampu mengambil hikmah dan kebijaksanaan pada hal-hal yang sederhana. Menjadi sumber pencerahan. Menjadi sumber inspirasi. Menjadi gelombang inspirasi. Bergerak mengalir dalam ketenangan, kesederhanaan dan biasa saja. Sewajarnya. Realistis. Ngrumangsani. Nggrayai jithok e dewe. Itulah Sego Jagung. Membumi. Namun tetap Perkasa menghadapi tantangan dunia.
Sego Jagung adalah Simbol Penyatuan Dua Entitas yang sangat berbeda kultural dan filosofinya. Tapi keduanya mampu menyatu menjadi Sajian Ketahanan Pangan & Budaya Nusantara. Dua entitas yang berbeda ragam, tapi mampu dimasak menjadi satu kesatuan yang nikmat, sehat dan mengenyangkan (baca: membahagiakan) siapa saja yang menyantapnya dengan penuh rasa syukur dan khidmat pada anugerah kehidupan. Sego Jagung. Dwi Tunggal. Tinggal menambah beraneka lauk pauk, jangan/ kuah, sambel, lalapan, kerupuk dan lain-lainnya sesuai selera masing-masing. Tapi yang utama adalah Sego Jagung sebagai Dwi Tunggal.
Wahyu Eko Setiawan/ Sam WES
Pecinta Sego Jagung