Kontroversi SMA Siger yang Mengguncang Kota Bandar Lampung
Kontroversi terkait keberadaan Sekolah Menengah Atas (SMA) Swasta Siger semakin memanas dan menimbulkan pertanyaan besar di kalangan masyarakat. Sekolah yang dikenal sebagai “sekolah hantu” ini kembali menjadi sorotan setelah sebuah lembaga pemerintahan mengungkap fakta penting terkait sumber dana dan legalitas penyelenggaraan pendidikan.
Pada Jumat, 5 September 2025, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Provinsi Lampung secara terbuka mengakui bahwa kegiatan belajar mengajar (KBM) SMA Siger dilaksanakan tanpa prosedur administratif sesuai ketentuan negara. Sejak saat itu, perhatian publik semakin tajam, karena banyak yang bertanya bagaimana sekolah ini bisa berjalan meskipun jelas-jelas melanggar hukum.
Asroni Paslah, Ketua Komisi IV DPRD Kota Bandar Lampung dari Fraksi Gerindra, menyatakan bahwa dalam APBD Perubahan Kota Bandar Lampung tahun 2025 tidak ada alokasi dana untuk sekolah tersebut. Ia menegaskan bahwa tidak ada anggaran yang dialokasikan jika Disdik.
Pernyataan ini memperkuat dugaan adanya aliran dana “siluman” yang menopang operasional SMA Siger. Apalagi, salah satu wakil kepala sekolah mengaku bahwa seluruh biaya operasional berasal langsung dari Pemerintah Kota (Pemkot) Bandar Lampung, bukan dari SMP Negeri tempat mereka menumpang.
Hal ini memunculkan pertanyaan besar: jika benar dana operasional berasal dari Pemkot, dalam pos anggaran apa dana itu disalurkan? Apakah menggunakan nomenklatur kesejahteraan rakyat atau hibah untuk masyarakat pra-sejahtera? Atau justru tidak tercatat sama sekali dalam APBD, yang berarti rawan terjadi penyalahgunaan kekuasaan?
SMA Siger dinilai melanggar sedikitnya delapan aturan perundang-undangan, mulai dari Permendikbudristek RI Nomor 36 Tahun 2014, UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, hingga Peraturan Wali Kota Bandar Lampung Nomor 7 Tahun 2022. Pelanggaran tersebut jelas mengindikasikan bahwa sekolah ini tidak hanya ilegal, tetapi juga berpotensi menyeret banyak pihak pada jerat pidana maupun tindak pidana korupsi.
Kondisi ini sangat berbahaya bagi siswa yang sudah terlanjur masuk. Tanpa izin resmi dan tanpa terdaftar di Data Pokok Pendidikan (Dapodik), para peserta didik terancam tidak akan menerima ijazah resmi. Dengan kata lain, masa depan mereka dipertaruhkan hanya karena kebijakan yang dinilai serampangan.
Praktisi pendidikan M. Arief Mulyadin menilai keberadaan sekolah ini mencederai prinsip dasar pendidikan nasional. Senada dengan pandangan tersebut, Panglima Ormas Ladam, Misrul, serta praktisi hukum Hendri Adriansyah menegaskan bahwa ketiadaan tindakan tegas dari aparat penegak hukum membuat persoalan ini semakin meruncing. Mereka mempertanyakan apakah aparat menunggu laporan masyarakat terlebih dahulu untuk menindak kasus ini, padahal pelanggaran sudah sangat jelas.
Fenomena SMA Siger mencerminkan bagaimana kebijakan publik bisa berubah menjadi “killer policy” ketika tidak didasarkan pada aturan hukum yang berlaku. Alih-alih membantu masyarakat mendapatkan akses pendidikan, kebijakan ini justru menciptakan sekolah bayangan yang merugikan generasi muda.
Jika dibiarkan, bukan hanya siswa yang akan dirugikan, tetapi juga marwah pendidikan di Kota Bandar Lampung akan tercoreng. Apalagi jika benar ada aliran dana APBD yang tidak transparan untuk menopang sekolah tersebut, maka kasus ini bisa berkembang menjadi skandal keuangan daerah.
Penting untuk diingat, pendidikan adalah hak setiap warga negara, namun penyelenggaraannya wajib mengikuti aturan dan mekanisme resmi. SMA Siger menjadi contoh nyata bagaimana pelanggaran aturan demi alasan populis justru bisa menjebak banyak orang dalam kerugian jangka panjang.
Kini bola panas ada di tangan aparat penegak hukum, lembaga pengawas pendidikan, serta masyarakat sipil. Apakah kasus ini akan dibongkar secara tuntas atau justru dibiarkan hingga generasi muda menjadi korban “sekolah hantu”?