InfoMalangRaya.com– Kemeriahan Natal tahun tidak tampak menonjol di jalan kota-kota Suriah, di mana gereja-gereja besar membatasi perayaan hanya dengan kebaktian sebagai bentuk solidaritas kepada rakyat Palestina yang sedang mengalami penderita perang di Gaza.
“Di Palestina, tempat kelahiran Yesus Kristus, orang-orang sedang menderita,” kata Uskup Agung Katolik Suriah di Aleppo, Mor Dionysius Antoine Shahda, kepada AFP Ahad (24/12/2023).
Kota yang terletak di distrik Azizia itu setiap tahun biasanya merayakan Natal dengan meriah, festival pasar Natal dan pohon Natal besar tinggi menjulang, sementara jalan-jalan di sana terang dihiasi lampu-lampu dan pernak-pernik Natal.
Namun tahun ini, alun-alun utama kota itu nyaris kosong, tidak tampak hiasan Natal yang menonjol.
“Di Suriah kami membatalkan semua perayaan dan resepsi resmi di gereja-gereja sebagai solidaritas terhadap para korban pemboman di Gaza” oleh pasukan Israel, kata Shahda.
Gereja Katolik Suriah tidak sendirian. Tiga gereja besar lain di negara itu Orthodoks Yunani, Orthodoks Suriah dan patriark Katolik Yunani Melkite dalam pernyataan bersama mengumumkan bahwa mereka membatalkan berbagai festival Natal dan membatasi perayaan hanya dalam bentuk kebaktian.
Sebelum perang saudara pecah di Suriah pada 2011, menyusul gelombang Arab Spring, negara itu adalah rumah bagi lebih dari 1,2 juta penganut Kristen, meskipun sejak perang banyak di antara mereka memilih hijrah ke luar negeri.
Kesedihan, dan pastinya kemelaratan, yang diakibatkan perang membatasi kemampuan warga untuk menggelar perayaan. Paling-paling hanya ada pasar Natal, yang itu pun tidak meriah.
Katedral Orthodoks Yunani Mariamite di Damaskus hanya memasang hiasan sederhana, sebuah pohon Natal kecil di halaman gereja.
Penduduk Damaskus, Rachel Haddad, 66, mengaku lebih banyak bergaul dengan ponselnya selama lebih dari dua bulan, membaca beragam berita kehancuran di Gaza. Oleh karena itu, dia mengaku tidak tega untuk memasang pohon Natal.
“Tahun ini sangat menyedihkan. Diawali dengan gempa bumi dan diakhiri dengan perang di Gaza,” kata Haddad, mengingat gempa berkekuatan 6 magnitudo yang mengguncang bagian selatan Turki terus ke Suriah dan merenggut sedikitnya 55.000 nyawa.
“Tidak ada peluang untuk bersenang-senang,” katanya, seraya menuding perekonomian Suriah yang morat-marit sejak perang saudara.
“Kalau tidak ada listrik, bagaimana kamu mau melihat dekorasi dan lampu-lampu hias?” tanya Haddad, menyinggung kondisi kelangkaan bahan bakar dan listrik di Suriah yang belum pulih akibat perang dan kesulitan ekonomi.*