Indonesia memiliki beberapa kota yang dikenal sangat toleran, salah satunya adalah Kota Solo yang pernah mendapatkan Indeks Kota Toleran pada tahun 2021 silam. Kota ini merupakan kota besar di Jawa Tengah yang menunjang kota-kota lainnya seperti Semarang dan Yogyakarta. Memiliki kemajemukan beragama yang menonjol adalah ciri khas dari kota yang memiliki lima kecamatan dan lima puluh empat kelurahan ini. Tampak dari bangunan-bangunan tua yang terjaga kelestariannya serta rumah-rumah ibadah dan lembaga pendidikan berbasis ragam agama yang terletak dalam radius beberapa meter saja.
Kota Solo atau sering juga disebut Surakarta, dipimpin oleh Walikota Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo. Hari ini wajah Kota Solo lebih semarak ketimbang hari lainnya. Momen akhir tahun yang hanya tersisa beberapa hari ke depan, membuat Kota Solo kian berseri menghias diri. Tim media kami mendapati banyak ornamen menyerupai pohon natal berupa replika pohon cemara berhiaskan lampu berwarna-warni di sepanjang Jl. Jenderal Sudirman seputaran Balai Kota Solo pada Sabtu 10/12/2022. Sementara itu, di area yang sama terdapat juga dekorasi berbentuk lampion-lampion yang menggantung menambah molek pemandangan kota berusia 76 tahun ini.
Banyak pelancong yang sengaja mengunjungi tempat-tempat ikonik di kota ini untuk menikmati akhir pekan bersama keluarga. Kawasan yang paling diminati para wisatawan adalah Keraton Surakarta, Masjid Agung, Vihara Dharma Sundara yang kesemuanya memiliki keistimewaan dan memberikan pengalaman wisata religi serta wisata budaya yang menarik. Tak heran jika Kota Solo mendapatkan julukan Kota Toleran, karena selain warga masyarakatnya yang ramah, Solo juga merupakan kota yang nyaman untuk ditinggali sebab tidak pernah menutup diri dan selalu terbuka untuk siapa saja yang ingin berkunjung.
Hal tersebut kami buktikan saat berkunjung ke Masjid Agung Surakarta yang bernama asli Masjid Ageng Keraton Surakarta Hadiningrat yang berada di kawasan Kauman, Kecamatan Pasar Kliwon. Kami mendapati wisatawan asing yang mengaku sudah berada di Kota Solo selama dua bulan lamanya. Wisatawan asal China itu tidak bisa berbicara menggunakan bahasa Indonesia sehingga tim media kami memakai bahasa Inggris agar lebih mudah berkomunikasi dengan pria yang memperkenalkan dirinya bernama Han Shen tersebut. Han Shen dalam keterangannya mengaku memasuki pelataran Masjid Agung menunggu dua orang temannya yang sedang melaksanakan sholat. Diketahui, teman-teman Han Shen ternyata berkebangsaan Indonesia. Bagi Han Sen, kehidupan muslim di Kota Solo sangat damai karena mereka saling menghargai satu sama lain. Dirinya mendengar kabar terkait isu terorisme yang pernah terjadi di sebuah kota di Indonesia dan dia sangat menyayangkan kejadian itu.
“Very sad because many people get injured and get hurt at that time. I think every people’s live is expensive, we have to spread peace and love whatever their religion and their belief. Terorism activity is not good for life because we have to respect each other, I just don’t know why they hurting people.“, ungkap Han Shen mengenai gerakan radikal yang kerap melakukan teror dan dia berharap peristiwa serupa tidak terjadi lagi dikemudian hari. Sementara teman-temannya menyelesaikan ibadahnya, pria berkacamata itu sangat penasaran dengan kondisi di dalam masjid, namun sayang Han Shen yang diketahui seorang non muslim itu tidak dapat memasuki ruang ibadah sebab dirinya memakai celana pendek. Dia hanya dapat mengamati aktifitas ibadah sholat dzuhur dari halaman dan beberapakali mengabadikan momen itu menggunakan ponselnya.
Terkait hal itu, Sekretaris Masjid Agung Surakarta, Ir. H. Abdul Basid yang kami jumpai seusai pelaksanaan ibadah sholat dzuhur mengatakan bahwa kunjungan wisatawan non muslim dibolehkan selama menggunakan pakaian yang layak dan kunjungannya tidak berpotensi mengganggu kegiatan ibadah. Dia juga menjelaskan bahwa Masjid Agung ini tidak sebatas melaksanakan ibadah sholat berjamaah dan syiar islam saja, namun menurutnya Masjid yang dibangun oleh Raja Pakubuwono III pada tahun 1763 ini kerap menggelar forum diskusi lintas agama untuk mengedukasi masyarakat umum akan pentingnya toleransi antar umat beragama. “Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk merawat kerukunan. Islam itu rahmatan lil’alamin (pembawa rahmat, cahaya dan keberkahan bagi alam semesta). Kami merangkul Forum Lintas Agama dan beberapa organisasi lainnya untuk meningkatkan wawasan terkait tradisi serta meningkatkan solidaritas dan toleransi untuk menangkal gelombang radikalisme yang marak terjadi.”, kata Basid.
Basid menuturkan dengan kegiatan tersebut diharapkan dapat mengurangi potensi tindakan yang mencederai kerukunan antar umat beragama dan mampu meredam berkembangnya paham-paham negatif yang beredar di masyarakat. “Di Masjid Agung ini, kami tidak boleh mengembangkan ajaran atau ceramah yang tidak mencerminkan moderasi beragama. Kalau ada pemuka agama ingin ceramah disini maka kita biasanya akan diseleksi terlebih dulu. Penting untuk berkonsultasi dengan pihak Keraton Surakarta, dengan Pemerintah, Dewan Masjid Indonesia dan segenap pengurus Masjid Agung Surakarta agar terhindar dari peristiwa yang dapat menimbulkan kegaduhan. Yang berceramah di sini (Masjid Agung) tidak boleh menyerang ormas (organisasi masyarakat) lain. Sebagai mesjid negara kami juga tidak dibenarkan menyerang program-program pemerintah dan wajib mengedepankan ukhuwah islamiyah.”, pungkasnya.
Penulis : Dyah Arum Sari
Pewarta : Rudi Harianto