Kota Malang yang Tenang Kini Terancam oleh Polusi Suara
Saya lahir dan tinggal di kota Malang, sebuah tempat yang selalu menjadi sumber kebanggaan saya. Saya merasa bahwa Malang adalah tempat yang ideal untuk gaya hidup yang tenang dan nyaman. Udara yang segar dan suasana yang sejuk membuat kota ini terasa sangat istimewa.
Meskipun pada musim kemarau kadang hawa terasa panas, angin yang berhembus masih mampu memberikan kesegaran yang menyenangkan. Dulu, Malang dikenal sebagai kota yang dingin dan ramah bagi mereka yang ingin hidup damai. Namun belakangan ini, kota ini semakin ramai bukan karena pertumbuhan ekonomi, melainkan karena deru suara speaker besar yang sering disebut dengan “sound horeg.”
Di berbagai sudut kota, terutama di daerah kabupaten, saat ada acara hajatan atau perayaan lokal, warga terpaksa menjadi pendengar pasif dari kebisingan yang tidak mereka undang. Kebisingan ini sudah bukan lagi sekadar gangguan, tapi telah menjadi polusi suara yang mengganggu hak atas lingkungan sehat dan ketenangan.
Tidak hanya mengganggu telinga, kebisingan juga berdampak pada kesehatan fisik dan mental, terutama bagi kelompok rentan seperti bayi, lansia, atau orang sakit. Banyak warga yang mengeluh karena jendela kacanya pecah, gentengnya berjatuhan, bahkan tembok rumah retak akibat getaran suara yang keras.
Surat Edaran yang Viral: Mengungsi demi Hiburan?
Contoh nyata terjadi di Desa Donowarih, Kecamatan Karangploso, Kabupaten Malang. Pada 22 Juli 2025, pemerintah desa mengeluarkan surat edaran tentang kegiatan “Karnaval Pesta Rakyat Karangjuwet Vol. 5” yang akan digelar pada 23 Juli 2025. Dalam surat tersebut, warga yang tinggal di sekitar jalan raya diminta untuk mengungsi sementara, terutama bagi yang memiliki bayi, lansia, atau anggota keluarga yang sakit, karena sound system yang digunakan akan sangat keras.
Surat tersebut menulis: “Agar dapat menjaga jarak atau mengamankan sementara dari lokasi kegiatan demi kenyamanan bersama dan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.” Ironisnya, alih-alih mengatur batas kebisingan atau menyesuaikan volume agar aman, justru warga diminta untuk meninggalkan tempat tinggalnya. Yang harus mengalah adalah mereka yang lemah, bukan pelaku kebisingan.
Surat ini viral di media sosial dan menuai kritik publik. Banyak orang mempertanyakan logika dan kepekaan kebijakan tersebut. Apakah kenyamanan kolektif harus dibayar dengan pengungsian warga rentan? Apakah suara lebih penting dari tidur bayi dan detak jantung lansia?
Bahaya Kesehatan yang Diabaikan
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), paparan suara di atas 70 desibel secara terus-menerus bisa memicu gangguan pendengaran, stres, hingga penyakit jantung. Dalam praktiknya, banyak sound horeg melebihi 100 desibel, setara dengan suara jet lepas landas. Ini bukan lagi urusan hiburan, melainkan krisis kesehatan publik yang diabaikan.
Pak Sis, seorang pensiunan yang tinggal di Batu, mengaku merasakan efek langsung dari kebisingan itu. Ia mengalami gangguan jantung akibat suara yang terus-menerus mengganggu. Malam-malam suara bisa tembus ke rumah, membuat ia sulit tidur. Padahal dulu ia pindah ke sini karena ingin tenang.
Bukan hanya para lansia yang terganggu, beberapa mahasiswa dari luar kota yang memilih tinggal di kawasan kabupaten Malang juga merasa terganggu. Mereka mengira kota ini jauh dari kebisingan, tetapi justru kini terganggu oleh pawai sound horeg yang menyebabkan kemacetan dan mengganggu aktivitas mereka.
Waktunya Menghentikan Normalisasi Kebisingan
Malang kini menjadi kota yang “ramai” bukan karena perayaan makna, melainkan karena kegaduhan tanpa etika. Ketika warga yang ingin beristirahat harus bersembunyi dari suara, ketika surat resmi menyarankan mengungsi demi menghindari dentuman, maka kita sedang kehilangan nalar kewargaan.
Ini bukan anti-hiburan. Ini tentang ketimpangan suara. Ketika satu kelompok bebas memekakkan, sementara kelompok lain harus diam dan menjauh. Sudah saatnya ada regulasi tegas dan edukasi publik tentang etika menggunakan ruang suara bersama.
Kita tak boleh membiarkan kebisingan menjadi budaya. Pemerintah daerah, dinas lingkungan hidup, hingga kepolisian harus hadir bukan hanya saat mengawal acara, tapi juga saat melindungi warga dari bahaya tak kasat mata seperti polusi suara.
“Kota yang layak huni adalah kota yang mendengar. Bukan yang paling keras bersuara.”