Jember (IMR) – Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Jawa Timur KH Abdul Halim Subahar meminta Pemerintah Kabupaten Jember memperjelas sikap terhadap sound horeg yang meresahkan warga, sebagaimana difatwakan oleh lembaga ulama tersebut.
“Ini ujian pertama bupati santri. Bupati santri akan terus dinilai gagal membangun kemashlahatan Jember, jika mengabaikan fatwa agama. Harapan tokoh agama dan wakil rakyat yang beragama dikalahkan hanya demi komitmen politik yang berdampak lebih banyak mudaratnya,” kata Halim, ditulis Kamis (24/7/2025).
Ada empat butir rekomendasi yang diterbitkan MUI Jatim terhadap sound horeg. Pertama, meminta kepada penyedia jasa, event organizer dan pihak-pihak yang terlibat dalam penggunaan sound horeg agar bisa menjaga dan menghormati hak-hak orang lain, ketertiban umum, serta normanorma agama.
Kedua, meminta kepada Pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk menginstruksikan kepada Pemerintah Kabupaten/Pemerintah Kota di Jawa Timur agar segera membuat aturan sesuai kewenangannya tentang penggunaan alat pengeras suara mulai dari perizinan, standar penggunaan, dan sanksi dengan mempertimbangkan berbagai macam aspek, termasuk norma agama.
Ketiga, meminta kepada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia untuk tidak mengeluarkan legalitas berkaitan dengan sound horeg, termasuk Hak Kekayaan Intelektual (HKI) sebelum ada komitmen perbaikan dan penyesuaian sesuai aturan yang berlaku.
Keempat, mengimbau kepada masyarakat untuk bisa memilah dan memilih hiburan yang positif, tidak membahayakan bagi dirinya, serta saling memahami, menghormati hak asasi orang lain dan tidak melanggar norma agama maupun aturan negara.
Bupati Jember Muhammad Fawait enggan berkomentar soal fatwa yang diterbitkan MUI Jatim. “Ya kan saya bupati, bukan sebagai kiai sekarang ya,” kata bupati termuda Jember yang akrab disapa dengan panggilan Gus atau sapaan untuk kiai muda ini.
“Tugas dari kiai itu fatwa. Tugas dari bupati menjalankan pemerintahan. Tidak boleh saling menanggapi,” kata Fawait, usai sidang paripurna do DPRD Kabupaten Jember, Kamis (17/7/2025).
Namun Halim mengkritik sikap diam Fawait. “Sikap diam menjadi pertanda lemahnya kepemimpinan,” katanya.
Halim mengingatkan predikat kesantrian yang selalu dilekatkan pada diri Fawait oleh Fawait sendiri maupun orang-orang sekitarnya. “Sebagai pemimpin yang sering menyebut ‘Bupati Santri’ harus bersikap jelas, ketika menyikapi ‘komitmen keagamaan dan komitmen politik dengan sound horeg yang bisa berdampak mudharat’,” katanya.
Halim menegaskan, fatwa MUI Jawa Timur dibuat melalui proses kajian mendalam untuk kemashlahatan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. “Fatwa ini mengikat secara moral bagi umat Islam,” katanya.
“Jika seorang muslim tidak berkenan dengan fatwa MUI, maka MUI sebagai institusi yang memberikan fatwa sudah melaksanakan kewajiban ber-“amar ma’ruf nahi mungkar” untuk tujuan kemashlahatan,” tambah Halim.
Halim menyarankan Bupati Fawait mengumpulkan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah Jember untuk membahas persoalan sound horeg ini. “Kalau akan berakibat mudarat bagi masyarakat, (sound horeg) harus dihindari,” katanya. [wir]