Infomalangraya – BATU – Wisata kuliner Payung harus mengubah tampilan jika ingin ramai pengunjung. Karena penampilan yang ada saat ini sudah ketinggalan zaman dan kalah dengan kafe-kafe baru yang bermunculan di Batu dan Malang.
Ketua Paguyuban Wisata Payung Endrik Andika mengatakan ada beberapa kemungkinan penyebab menurunnya wisatawan ke Wisata Payung. “Yang utama memang persaingan usaha di sekitar yang banyak berdiri destinasi kuliner atau kafe,” ujarnya pada Senin (22/5). Seperti warung- warung di paralayang dan Coban Rondo. Apalagi kafe-kafe di bawah Payung yang lebih banyak lagi.
Selain itu, kurang ada inovasi dari para pedagang-pedagang di wilayah tersebut. Sedangkan trend warung kopi sudah berkembang dari zaman ke zaman, contohnya sudah banyak muncul coffee shop. “Karena beberapa warga di Payung sudah sepuh, jadi kompetensi untuk di ajak inovatif sangat berat. Kebanyakan hanya bisa pasrah sedangkan di destinasi lain berlomba membangun yang bagus-bagus,” katanya.
Menurutnya kesadaran para pedagang di Payung untuk menjadi sebuah destinasi Wisata Payung sangat perlu ditingkatkan. Misalnya sudah tidak boleh lagi nggepuk harga seperti dulu. “Memang dulu ada oknum yang nggepuk harga. Tapi sekarang sudah tidak ada. Malah sekarang kita, kalau dibandingkan dengan destinasi lain sejenis, di Payung paling murah. Misalnya, harga susu di Payung Rp 8 ribu dan di Batu sudah Rp 14 ribu segelas,” jelasnya.
Menurut dia, salah satu strategi yang manjur untuk menggaet wisatawan ialah melakukan renovasi dan melakukan desain ulang. Namun melakukan hal itu butuh pendanaan yang tak sedikit. “Masalah pendanaan kita memang tidak ada yang mendukung selama ini maupun dari segi ide, untuk kas paguyuban ada tapi cuma sedikit sekali,” jelasnya.
Salah satu upaya perubahan, Ia memberikan contoh warung miliknya. “Saya bangun warung dengan konsep lebih modern, jadi kafe yang bagus secara interior dan juga menunya sudah berubah,” katanya. Ia memiliki visi agar Payung menjadi destinasi baru seperti sentra-sentra coffee shop di Sudimoro dan Dau, Kabupaten Malang.
Penurunan pengunjung juga sangat dirasakan salah satu pemilik warung Siti Mauludiarti, 36. Ketika masih ramai-ramainya di hari biasa dia bisa meraup omzet jutaan rupiah. “Dulu hari biasa mendapat Rp 400 hingga Rp 600 ribu itu hitungannya sepi,” katanya. Padahal waktu itu harga makanan masih murah, untuk jagung sekitar Rp 5 ribu, dan sekarang sekitar Rp 8 ribu.
Saat itu, setiap akhir pekan bahkan para pengunjung perlu booking agar kebagian tempat. “Saat ini di hari biasa dapat Rp 200 ribu saja sudah cukup sulit,” ujarnya. Ia memang mengakui jika perlu mengikuti zaman agar Payung tetap eksis. “Tetapi ya kembali lagi, perlu modal,” ungkapnya.
Sementara itu, Ketua Komisi A DPRD Kota Batu Dewi Kartika mengatakan upaya yang bisa dilakukan mungkin meng-upgrade tampilan tempatnya, supaya lebih menarik. ”Atau kerja sama dengan biro travel supaya wisatawan dilewatkan di Payung dulu sebelum berwisata ke arah Coban Rondo atau paralayang,” tuturnya.(iza/lid)