Surat Al-Maidah menekankan perintah berteman dengan orang amanah, pada Muslim dan larangan beraliansi dan teman yang suka berkhianat
InfoMalangRaya.com | SURAT Al-Maidah ayat 51 menekankan pentingnya menjaga kesetiaan kepada komunitas Muslim dan menjadi berhati-hati dalam membentuk aliansi yang dapat membahayakan kepentingan orang-orang beriman. Bunyi teks nya seperti berikut;
يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا لَا تَتَّخِذُوا الۡيَهُوۡدَ وَالنَّصٰرٰۤى اَوۡلِيَآءَ ؔ بَعۡضُهُمۡ اَوۡلِيَآءُ بَعۡضٍؕ وَمَنۡ يَّتَوَلَّهُمۡ مِّنۡكُمۡ فَاِنَّهٗ مِنۡهُمۡؕ اِنَّ اللّٰهَ لَا يَهۡدِى الۡقَوۡمَ الظّٰلِمِيۡنَ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman setia(mu) (wali, pelindung atau pemimpin); mereka satu sama lain saling melindungi. Barang siapa di antara kamu yang menjadikan mereka teman setia (wali, pelindung atau pemimpin), maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Maidah (5): 51).
Al-Maidah memiliki arti “Jamuan Hidangan Makanan”. Terdiri dari 120 ayat dan termasuk golongan-golongan Surat Madaniyyah dan turun di Kota Madinah, Arab Saudi.
Selain dari ayat ini masih banyak ayat yang lain dalam Al-Quran yang menyatakan larangan menjadikan pemimpin bagi golongan yang tidak seiman, terutama untuk kaum muslimin, terhadap orang-orang Yahudi dan Nasrani.
Diulangnya berkali-kali larangan ini dalam beberapa ayat dalam Al-Quran menunjukkan bahwa persoalannya sangat penting dan bila dilanggar akan mendatangkan bahaya yang besar.
Dapat dipahami konteks pada ayat ini pada saat itu karena sebab kemarahan karena pemerintahan ketergantungan Abu Musa terhadap orang Kristen pada posisi yang sangat strategis yang keuangan pemerintahan dimana di dalamnya termasuk catatan zakat, jizyah dalam baitul mal.
Sebagian mengatakan bahwa ayat tersebut berkenaan dengan kisah ‘Ubadah ibn al-Shamit yang tidak lagi mempercayai kaum Yahudi dan Nasrani di Madinah sebagai aliansi yang bisa membantu umat Islam dalam peperangan, dan ‘Abdullah ibn Ubayy ibn Salul yang masih mempercayai mereka sebagai kawan dalam peperangan.
Sebagian riwayat lain menerangkan bahwa ayat tersebut berkaitan dengan Abu Lubabah yang diutus Rasulullah ﷺ kepada Banu Quraizhah yang merusak perjanjian dukungan dan perdamaian dengan Rasulullah dan umatnya.
Riwayat yang lain lagi merangkan bahwa ayat tersebut terkait dengan kekhawatiran umat Islam menjelang terjadinya Perang Uhud (pada tahun kedua Hijriyah); karena itu, sebagian dari mereka mencoba meminta bantuan teman-teman Yahudi, dan sebagian yang lain ingin meminta bantuan kepada kaum Nasrani di Madinah; ayat tersebut turun untuk menasehati umat Islam saat itu agar tidak meminta bantuan kepada mereka.
Terlepas dari variasi riwayat-riwayat tersebut di atas, bisa digarisbawahi bahwa ayat tersebut turun dalam konteks peperangan, dimana kehati-hatian dalam strategi perang harus selalu diperhatikan, sehingga tidak boleh meminta bantuan dari pihak-pihak lain yang belum jelas komitmennya.
Dengan kata lain, konteks historis turunnya ayat itu bukan pertemanan dalam situasi damai, dan bukan pula konteks pemilihan kepala pemerintahan.
Melihat hal-hal tersebut di atas, ide moral atau pesan utama dari ayat itu adalah, paling tidak, sebagai berikut.
Pertama, perintah untuk berteman dengan orang-orang yang bisa dipercaya, khususnya dalam hal-hal yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, dan larangan untuk memilih aliansi dan teman yang suka berkhianat. Prilaku adil kepada semua orang harus ditegakkan dan kezaliman/ketidakadilan harus ditinggalkan.
Kedua, komitmen bersama dan saling menjaga perjanjian/kesepakatan bersama itu harus ditegakkan dan tidak boleh dikhianati. Apabila komitmen dan perjanjian itu dirusak secara sepihak, maka yang akan terjadi adalah kehilangan trust (kepercayaan) dari kelompok yang dikhianati, sebagaimana kehilangan trust umat Islam Madinah pada masa Nabi kepada kaum Yahudi dan Nasrani yang menyalahi The Madinah Charter (Piagam Madinah) yang salah satu intinya adalah saling menolong dan membantu antarkomunitas saat itu di Madinah.
Ketiga, ayat tersebut tidak ada hubungannya dengan pemilihan kepala negara atau kepala daerah. Islam hanya mengajarkan bahwa kepala negara atau daerah sebaiknya orang yang mampu berbuat adil kepada seluruh masyarakat yang berada di wilayah kekuasaannya, tanpa memandang perbedaan agama dan suku.
Ayat ini perlunya pemahaman terhadap konteksnya untuk lebih jelasnya apa pesan yang disampaikan pada ayat ini, bukan malah disalahgunakan untuk menyerang kelompok tertentu pada suatu waktu apalagi lingkup kebijakan politik tertentu. Wallahu alam.*/Luki Juliana Ekasatya
Leave a Comment
Leave a Comment