Keindahan dan Kekayaan Budaya di Tanjung Penyu
Berjalan di bawah sinar matahari yang hangat di tepi pantai yang berkilau merupakan pengalaman yang tak tergantikan. Debur ombak yang menghantam karang serta desiran angin pantai menambah rasa syukur atas keindahan ciptaan Tuhan. Di ujung selatan Kabupaten Malang, tersembunyi sebuah tempat yang tidak hanya memisahkan daratan dari samudra, tetapi juga menyimpan kisah panjang antara manusia dan alam. Tempat ini dikenal sebagai Tanjung Penyu, sebuah kawasan pesisir yang menyimpan sejarah, menjadi saksi perubahan budaya pesisir, dan menyuarakan refleksi tentang hubungan kita dengan lingkungan.
Tanjung Penyu berlokasi di dusun Tambak, desa Sitiarjo, kecamatan Sumbermanjing Wetan, kabupaten Malang. Tempat ini baru dibuka pada bulan Oktober 2023 dan diresmikan pada awal tahun 2024. Sejak dibuka, pantai ini telah menarik banyak wisatawan untuk berkunjung ke sana.
Jejak Nama, Jejak Alam
Pantai Tanjung Penyu identik dengan fenomena alam yang terjadi di kawasan wisata pantai. Istilah “tanjung” memiliki arti “tanah” atau “pegunungan” yang menjorok ke laut, sedangkan “penyu” merujuk pada hewan penyu yang sering singgah di daratan sekitar pantai. Oleh karena itu, pantai ini dinamakan Tanjung Penyu.
Tanjung Penyu terletak dekat dengan kawasan konservasi Pantai Bajulmati dan Pantai Goa Cina, termasuk dalam gugus pesisir selatan Jawa yang langsung menghadap Samudra Hindia. Nama “Tanjung Penyu” bukan sekadar metafora, melainkan penanda ekologis. Dahulu, wilayah ini menjadi salah satu titik pendaratan penyu untuk bertelur, terutama penyu hijau (Chelonia mydas), penyu lekang (Lepidochelys Olivacea), dan penyu sisik (Eretmochelys imbricata).
Tradisi lisan masyarakat sekitar mengisahkan bahwa pada musim tertentu, puluhan penyu datang ke bibir pantai untuk bertelur. Kini, fenomena itu nyaris punah. Perubahan bentang alam akibat pembangunan, peningkatan aktivitas wisata, serta perburuan telur penyu yang tak terkendali menyebabkan populasi penyu menyusut drastis.
Sejak awal 2025, berbagai lembaga seperti Yayasan Konservasi Penyu Jawa Timur (BSTC), BBKSDA Jatim, dan CA Pulau Sempu aktif melakukan penangkaran dan pelepasan tukik (anak penyu). Pada 3 Juni 2025, sebanyak 68 tukik penyu lekang (Lepidochelys Olivacea) yang menetas pada 13 Mei 2025 dilepas di Pantai Bajulmati. Tak lama berselang, 13 Juni 2025, 30 tukik dilepasliarkan oleh Kelompok Tani Hutan (KTH) Harapan Pertiwi melalui Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) 31 di Pantai Tanjung Penyu. Kemudian pada 26 Juni 2025 dilepasliarkan lebih dari 1.000 tukik di Pantai Modangan, kecamatan Donomulyo, Kabupaten Malang dalam acara bertema Suro: “Memayu Hayuning Bawono.” Ini menjadi simbol optimisme baru dari pinggir samudra di tengah ancaman kepunahan penyu dari habitatnya.
Antara Nelayan, Wisatawan, dan Warisan Budaya
Masyarakat pesisir di sekitar Tanjung Penyu seperti di Desa Sitiarjo sejak lama hidup dari laut. Mereka menggantungkan hidup dari hasil tangkapan ikan, rajungan, dan rumput laut. Namun, perlahan kehidupan berubah. Pemerintah mendorong pengembangan kawasan ini sebagai destinasi wisata alternatif. Perahu nelayan mulai disulap menjadi perahu wisata. Anak-anak muda menjual es kelapa, hasil kerajinan kulit kerang, atau membuka jasa swafoto di tebing.
Pak Manto, mantan nelayan yang kini mengelola warung kecil di sekitar Tanjung Penyu berkata, “Kalau soal penghasilan, mungkin sekarang lebih ramai. Tapi anak-anak sekarang banyak yang tidak lagi tahu cara menangkap ikan, atau kapan ombak bagus buat melaut. Mereka sibuk main HP, ikut tamasya, tapi lupa budaya kita sendiri.”
Di sinilah benturan halus antara tradisi dan modernitas terjadi. Tanjung Penyu menjadi cermin bagaimana masyarakat lokal mencoba bertahan di tengah derasnya arus pariwisata dan digitalisasi. Perubahan membawa rezeki, tetapi juga sekaligus menggeser nilai.
Warisan Tak Tertulis dan Refleksi Spiritual
Tanjung Penyu juga menyimpan jejak kepercayaan lokal. Sebagian masyarakat masih memercayai adanya makhluk penjaga lautan selatan, semacam pengaruh budaya kejawen yang melebur dengan mitos Ratu Laut Selatan. Setiap tahun, menjelang musim petik laut (sedekah laut) di pantai-pantai laut selatan termasuk kini di Pantai Tanjung Penyu, beberapa warga melakukan ritual sederhana, membakar kemenyan atau menabur bunga ke laut, seraya berdoa memohon keselamatan.
Kegiatan pelepasan tukik juga tak lepas dari nuansa spiritual ini. Dalam beberapa kesempatan, pelepasan dilakukan secara simbolik dengan mengalirkan tukik di atas batok kelapa, meniru tradisi leluhur yang menyimbolkan kembalinya kehidupan ke alam. Namun sayangnya, banyak wisatawan tak memahami makna di balik tradisi ini. Beberapa bahkan menertawakannya atau mencemari lokasi upacara dengan sampah plastik.
Wisata dan Edukasi Konservasi
Tanjung Penyu menyuguhkan pasir putih yang lembut, air jernih kehijauan, tebing dan batuan terjal. Fasilitas wisata seperti spot camping, swafoto, dan perahu wisata semakin berkembang. Tarif masuk cukup terjangkau: Rp10.000 per orang, parkir motor Rp3.000, mobil Rp5.000. Berenang dan bersantai di gazebo dapat dilakukan dengan aman bersama keluarga. Ombaknya cukup aman dan landai. Dengan karakter pasirnya yang halus dan lembut membuat pengunjung asyik bermain pasir.
Menikmati sunset yang indah di sore hari juga banyak menjadi pilihan wisatawan untuk tetap tinggal karena suasananya yang romantis. Beberapa kelompok muda juga senang dapat berkemah di tepi pantainya yang tenang. Beberapa pengelola juga menawarkan jasa edukasi lingkungan dan pelatihan konservasi, terutama saat musim tukik menetas.
Wisatawan disarankan datang pagi (07.00–10.00) atau sore (15.00–17.00) untuk menikmati keindahan dan menghindari teriknya matahari. Namun yang terpenting adalah sikap: membawa sampah sendiri, menghormati ritual, dan mendukung ekonomi lokal dengan bijak.
Menjaga yang Tersisa, Sebuah Catatan Reflektif
Tanjung Penyu ibarat potret ambivalensi: indah tapi rawan rusak, ramai tapi berisiko kehilangan jati diri. Pantai ini adalah laboratorium sosial tempat bertemunya konservasi, budaya, dan ekonomi lokal. Data konservasi menunjukkan tren positif: sekitar 1.160 tukik dilepas sepanjang semester pertama 2025. Namun tantangannya pun tetap besar.
Hal ini sangat dibutuhkan kolaborasi aktif antara pemerintah, komunitas lokal, dan wisatawan. Edukasi multibahasa tentang pentingnya penyu dan makna ritual harus dipasang di titik-titik strategis. Sekolah-sekolah bisa terlibat dalam kegiatan pelepasan tukik, agar generasi muda tumbuh dengan rasa memiliki terhadap lingkungan dan budaya mereka sendiri.
Laut Menyimpan Jejak Kita
Tanjung Penyu bukan hanya soal pantai dan penyu. Ia adalah tempat di mana kita bisa bertanya: apakah kita datang sebagai penikmat, perusak, atau penjaga? Karena pada akhirnya, laut dan semua yang hidup di dalamnya akan menilai cara kita memandang dan memperlakukannya. Di sinilah jejak penyu dan jejak manusia bertemu dan kita harus memastikan bahwa keduanya tetap lestari. Salam Lestari!