Tauhid Lahirkan Pandangan Terbuka

NASIONAL220 Dilihat

Infomalangraya.com –

TAUHID ialah dasar agama Islam yang menyatakan keesaan Allah SWT. Islam mengajarkan bahwa Allah Esa (satu) tidak dari segi bilangan, tetapi dari segi bahwa Allah tidak mempunyai sekutu atau serupa.

Untuk memudahkan pemahaman tauhid, para ulama membagi menjadi tiga bagian yakni tauhid rububiyyah, uluhiyyah, dan asma wa shiffat. Pertama, tauhid rububiyyah artinya mengesakan Allah yang meyakinkan bahwa Allah Yang Maha Pencipta, pemberi rezeki, menghidupkan, mematikan, dan mengatur semua urusan-Nya.

Tauhid uluhiyyah, yakni mengesakan peribadatan hanya pada Allah, baik dalam hal cinta, ketakutan, keikhlasan, haji, salat, salat sebagainya.

Sementara itu, asma wa shiffat merupakan keimanan yang sesungguhnya kepada nama-nama Allah yang ditetapkan dalam Al-Qur’an dan assunnah, termasuk maknanya.

Menurut Guru Besar Pendidikan Islam sekaligus Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Abdul Mu’ti, tauhid murni sebagai karakter pertama dari Islam berkemajuan akan melahirkan manusia yang memiliki pikiran, pandangan, dan sikap terbuka serta merdeka.

Oleh karena itu, dalam konteks sosiologis, jika ada penjajahan, itu bertentangan dengan ajaran tauhid. Alasannya, satu-satunya yang berhak disembah manusia hanyalah Allah sehingga apabila ada makhluk menindas mahkluk lain, berarti menyalahi tauhid murni itu.

“Karena itu, menurut saya Pembukaan UUD 1945 itu alenia satu adalah tauhid. Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh karena itu penjajahan di atas muka bumi harus dihapuskan,” kata Mu’ti, Sabtu (1/4).

Tauhid murni juga melahirkan manusia yang optimis karena mereka meyakini Allah ialah Tuhan segala-galanya. Di setiap kesulitan pasti ada kemudahan. Selain itu, Allah juga Maha Kaya.

Di sisi yang selanjutnya, tauhid murni juga melahirkan manusia yang egaliterianisme kemanusiaan. Di Muhammadiyah tidak ada klasifikasi yang sifatnya feodalistik. Meskipun demikian, sesama warga Muhammadiyah tetap saling menghormati.

“Termasuk ketika memilih pimpinan tidak pernah ditanya silsilahnya sampai Kiai Dahlan atau tidak, apalagi ditanya silsilahnya sampai Nabi Muhammad. Yang dilihat adalah dia punya integritas, dia punya kompetensi, dan berbagai aspek lain yang mendukung bagaimana dia menjadi seorang leader yang baik,” imbuhnya.

Egaliterianisme kemanusiaan menjadikan interaksi yang dibangun sesama manusia tetap menghormati, tetapi bukan penghormatan yang feodalistik. Akan tetapi, penghormatan sebagai amalan dari sifat akhlakul karimah. Mu’ti menyebut bahwa egaliterianisme juga menjadi salah satu ciri dari komunitas yang maju.

“Orang yang berkemajuan itu menggeser supremasi seseorang, dari supremasi yang bersifat nasabiyah (pernasaban) ke arah supremasi yang bersifat amaliah,” tutur Mu’ti.

Namun, bukan berarti diperbolehkan menghapus pernasaban seseorang karena bagaimanapun nasab atau silsilah keluarga harus tetap dijaga. (H-1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *