Kekhawatiran terhadap Pengabaian Sektor Teknologi dalam RAPBN 2026
Dalam pidato tahunan yang disampaikan di Sidang Bersama DPR-DPD RI pada Agustus 2025, Presiden Prabowo Subianto mengumumkan delapan program prioritas nasional yang akan menjadi fokus utama dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026. Di antara sektor-sektor strategis seperti ketahanan pangan, energi, pendidikan, dan pertahanan, satu sektor yang sangat penting justru tidak disebutkan: teknologi informasi dan digital. Hal ini langsung memicu kekhawatiran dari berbagai kalangan pengamat dan pelaku industri.
Seiring dengan perkembangan ekonomi digital yang pesat, sektor teknologi telah menjadi salah satu pendorong utama pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pada 2016, sektor digital menyumbang sekitar 8% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), dan diproyeksikan bisa mencapai 20% pada 2045 jika mendapat dukungan konsisten. Dengan tidak adanya prioritas eksplisit untuk sektor ini, muncul pertanyaan besar tentang dampaknya terhadap pembangunan nasional.
Risiko Stagnasi Inovasi dan Infrastruktur Digital
Heru Sutadi, peneliti dari ICT Institute, menilai bahwa minimnya perhatian terhadap sektor digital dapat menghambat pengembangan infrastruktur, inovasi teknologi, dan literasi digital. Tanpa alokasi anggaran yang cukup, investasi di bidang artificial intelligence (AI), big data, dan keamanan siber bisa stagnan. Akibatnya, daya saing Indonesia di tingkat global akan melemah, terutama dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand yang lebih agresif dalam membangun ekosistem digital.
Otto Toto Sugiri, CEO DCI Indonesia, menyoroti potensi besar Indonesia dalam bisnis pusat data (data center). Indonesia memiliki pangsa pasar terbesar di Asia Tenggara dan harga listrik termurah di kawasan. Namun, Indonesia justru tertinggal karena lambat bergerak dalam pengembangan sektor ini.
Dampak Ekonomi: Pertumbuhan Bisa Terhambat
Transformasi digital diyakini mampu mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 2,7% per tahun, menurut mantan Presiden Direktur Telkom Indonesia, Ririek Adriansyah. Dengan pendekatan digital, target pertumbuhan ekonomi 8% pada 2029 bisa lebih realistis. Namun, jika sektor ini tidak menjadi prioritas, maka potensi tersebut bisa terbuang percuma.
Saat ini, belanja teknologi informasi dan komunikasi (ICT) berada di angka Rp66 triliun dengan pertumbuhan tahunan 7,6%. Untuk mencapai dampak maksimal, pertumbuhan belanja ini perlu ditingkatkan menjadi 14% melalui solusi digital B2B dan ekspansi broadband.
Kesenjangan Digital Bisa Melebar
Salah satu dampak paling nyata dari tidak diprioritaskannya sektor teknologi adalah ancaman terhadap pemerataan akses digital. Kesenjangan antara wilayah Jawa dan luar Jawa masih lebar, terutama dalam hal penetrasi internet dan infrastruktur BTS 4G/5G. Tanpa alokasi anggaran khusus, pembangunan infrastruktur digital di daerah terpencil berisiko lambat, memperburuk ketimpangan dan menghambat inklusi digital.
Harapan di Balik Ketiadaan Prioritas
Meski tidak masuk dalam daftar prioritas eksplisit, beberapa pengamat berharap transformasi digital tetap bisa diintegrasikan ke dalam sektor-sektor lain seperti pendidikan, pertanian, dan energi. Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) diharapkan tetap mendorong kebijakan progresif dan mengalokasikan anggaran melalui jalur lintas kementerian.
Contohnya, digitalisasi pertanian bisa meningkatkan efisiensi distribusi pangan, sementara teknologi AI dan big data dapat memperkuat sistem pertahanan dan keamanan nasional. Namun, tanpa komitmen politik yang kuat, integrasi ini berisiko menjadi tempelan belaka.
Momentum yang Terancam Hilang
Ketika dunia bergerak cepat menuju era digital, absennya sektor teknologi dari prioritas RAPBN 2026 bisa menjadi langkah mundur yang mahal. Indonesia memiliki potensi besar, baik dari sisi pasar, sumber daya manusia, maupun infrastruktur dasar. Namun, tanpa dukungan kebijakan dan anggaran yang memadai, potensi itu bisa berubah menjadi peluang yang terlewatkan.
Pertanyaannya kini bukan hanya “mengapa teknologi tidak diprioritaskan?”, tetapi “apa yang bisa dilakukan agar transformasi digital tetap berjalan meski tanpa dukungan eksplisit?” Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan apakah Indonesia siap bersaing di era digital, atau justru tertinggal di tengah revolusi teknologi global.







