Penolakan Mutasi Pejabat di Pemalang Menggugah Kesadaran Tata Kelola Pemerintahan
Penolakan usulan mutasi pejabat oleh Badan Kepegawaian Negara (BKN) dalam lingkungan Pemerintah Kabupaten Pemalang tidak hanya sekadar masalah administratif biasa. Hal ini dinilai sebagai alarm serius terhadap tata kelola pemerintahan daerah yang berpotensi melanggar aturan dan merusak prinsip meritokrasi. Hal ini disampaikan oleh praktisi hukum Dr.(c). Imam Subiyanto, S.H., M.H., CPM.
Menurut Imam Subiyanto, BKN tidak mungkin menolak usulan dari Bupati tanpa adanya pelanggaran prosedur atau ketidaksesuaian dengan peraturan hukum yang berlaku. Dugaan pemutihan rekam jejak pejabat bermasalah melalui mutasi semakin kuat, apalagi ada isu bahwa sebagian pejabat yang diusulkan pernah dikenai sanksi demosi.
Prinsip Meritokrasi Terancam
Mutasi jabatan bukanlah ruang eksperimen politik. Jika pejabat yang pernah dijatuhi sanksi demosi kemudian diusulkan kembali, hal ini bertentangan dengan prinsip merit system yang diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan peraturan turunannya. Pasal 73 ayat (2) UU ASN menyatakan bahwa mutasi harus dilakukan berdasarkan kualifikasi, kompetensi, dan kinerja pegawai. Artinya, rekam jejak pejabat yang pernah dikenai sanksi seharusnya menjadi pertimbangan utama, bukan justru diabaikan.
Pelajaran dari Masa Lalu
Lebih lanjut, Imam mengingatkan agar Bupati tidak mengulangi kesalahan fatal yang pernah terjadi di Pemalang pada tahun 2022. Saat itu, praktik suap jual beli jabatan menyeret mantan Bupati Mukti Agung Wibowo hingga divonis bersalah oleh pengadilan tipikor.
Jika praktik mutasi ini tidak transparan, publik wajar menduga adanya praktik pungli atau “setoran jabatan”. Dan jika benar terbukti ada upaya manipulasi prosedur, ini bisa masuk ranah perbuatan melawan hukum (PMH) dan bahkan tindak pidana korupsi sesuai UU Tipikor.
Peran Penting DPRD dalam Pengawasan
Imam juga menyoroti aspek pengawasan DPRD dan menyambut baik sikap kritis anggota Komisi A DPRD Pemalang, Heru Kundhimiarso. Namun, ia menekankan agar DPRD tidak berhenti sebatas kritik, melainkan menggunakan hak pengawasan secara maksimal. DPRD harus mengawal penuh proses mutasi ini. Jangan hanya menunggu informasi dari BKN, tetapi aktif meminta klarifikasi resmi dari Bupati dan BKD. Jika ditemukan indikasi pelanggaran, DPRD dapat menggunakan hak interpelasi atau bahkan hak angket.
Momentum untuk Perbaikan Sistem
Penolakan BKN ini seharusnya menjadi momentum untuk memperbaiki sistem tata kelola kepegawaian di Pemalang agar benar-benar bebas dari intervensi politik praktis dan kepentingan kelompok tertentu. Prinsip “the right man on the right place” harus ditegakkan, bukan sekadar jargon. Dengan adanya pengawasan yang ketat dan transparansi, tata kelola pemerintahan akan lebih efektif dan menjunjung nilai-nilai keadilan serta profesionalisme.