Infomalangraya.com –
KETIKA asyik mengeser-geser layar handphone seusai salat Subuh kemarin, mata saya yang mulai digelayuti kantuk sedikit terusik dengan berita ditutupnya secara resmi Wisma Atlet, Kemayoran, sebagai Rumah Sakit Darurat Covid-19 pada Jumat (31/3). Penutupan itu dilakukan karena badai covid yang mulai redup. Alhamdulillah. Bagi saya, ini berita menarik. Apalagi sehari sebelumnya, Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengubah rekomendasi kebijakan agar remaja yang fisiknya sehat tidak perlu lagi diberi vaksin covid-19. Itu artinya dunia semakin berangsur membaik. Namun, jika mengacu pada kredo bad news is a good news yang masih diimani sebagian besar para jurnalis selama ini, berita semacam itu mungkin dianggap kurang ‘seksi.’ Tidak mengundang click bait.
Makanya, berita semacam itu tidak menjadi headline atau menempati halaman utama. Kondisinya berbeda jika dibandingkan dengan sekitar dua tahun yang lalu ketika pasien covid bertumbangan memenuhi bangsal dan lorong di Wisma Atlet dan sejumlah rumah sakit yang diselingi jerit tangis sanak saudaranya. Para pemburu berita dan fotografer tentunya akan berada di garda terdepan demi mengabarkan kepada netizen yang ‘mahajulid dan (sok) bijaksana’ tanpa peduli perasaan keluarga pasien. Bahkan, mereka pun mungkin rela memburunya hingga ke liang kubur alias permakaman untuk sekadar mendapat gambar dan cerita yang paling epik. Kalau perlu pakai drone. Astagfirullah. Luar biasa.
Padahal, saat penutupan Wisma Atlet yang mulai digunakan untuk merawat pasien covid sejak 23 Maret 2020, ada peristiwa yang juga tidak kalah menyentuh dan sangat manusiawi, yakni tangis haru para relawan yang selama ini telah berjuang bertaruh nyawa demi kesembuhan pasien. Mereka saling berpelukan, begitu juga dengan segenap petugas wisma. Bagi saya, mereka, (termasuk juga para petugas kesehatan, sopir ambulans, dan petugas kebersihan) ialah para pahlawan sesungguhnya, bukan para politikus yang berlomba dan berpesta pora meraih simpati di tengah sebuah hajatan olahraga kelas dunia yang berantakan.
Kepada para relawan dan petugas kesehatan itu, sudah sepatutnya kita menaruh hormat dan simpati setinggi-tingginya. Berkat perjuangan dan dedikasi mereka (bahkan tidak sedikit yang kehilangan nyawa), sebagian dari kita kini masih bisa beraktivitas dan berkumpul bersama orang-orang tercinta di rumah. Jika kita mau sedikit menerawang ingatan ke masa-masa itu, era ketika kita semua (dari yang ateis hingga yang paling religius) dilanda kecemasan dan masa depan yang entah, sudah sepatutnya pula kita bersyukur dapat melewati masa-masa sulit tersebut.
Bagi sebagian penyintas covid-19, mungkin bisa merasakan bagaimana tersiksanya ketika virus jahanam itu bersemayam dalam tubuh. Kepala senat-senut, tulang terasa remuk, begitu juga dengan kondisi paru-paru dan perut yang bikin semaput. Tidak sedikit di antaranya tidak mampu bertahan dan harus menjemput maut; istri, suami, anak, mertua, ipar, teteh, keponakan, teman, sahabat, dan seterusnya. Bagi mereka yang selamat, nikmat Tuhan mana lagi yang kalian dustakan? Coba ingat-ingat lagi wajah orang terdekat kita yang telah tiada. Begitu pula deretan angka yang hingga kini masih terpampang di laman situs covid19.go.id. Mereka bukan statistik belaka. Data itu mewakili kita semua, saya dan mungkin Anda. Kita menjadi bagian dari 683 juta orang di seluruh dunia yang pernah terpapar virus mematikan tersebut.
Kita, yang kini masih segar bugar dan sebagian di antaranya dapat menjalani ibadah puasa, ialah bagian dari sejarah paling kelam dalam peradaban umat manusia di sepanjang abad ini. Bukankah itu patut kita syukuri? Jangan pernah lupa, apalagi bersikap angkuh. Akhirulkalam, kepada para relawan dan petugas kesehatan di mana pun, melalui catatan kecil ini, saya atas nama pribadi dan institusi ini mengucapkan terima kasih dan rasa hormat yang setinggi-tingginya. Wasalam.