Pembebasan Tiga Warga Binaan Pemasyarakatan di Malang
Sebanyak tiga warga binaan pemasyarakatan (WBP) di wilayah Malang kini telah resmi menghirup udara bebas. Mereka mendapatkan kesempatan untuk kembali ke kehidupan masyarakat setelah mendapat pengampunan dari pemerintah.
Dari jumlah tersebut, dua orang di antaranya berasal dari Lapas Kelas I Malang dan memenuhi syarat administratif serta substantif untuk mendapatkan amnesti. Sementara satu orang lainnya berasal dari Lapas Perempuan Kelas II A Malang. Proses pemberian amnesti ini dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, tanpa dipungut biaya apapun.
Amnesti yang diberikan merupakan bentuk penghapusan status pidana dan hukuman sepenuhnya. Namun, pemberian amnesti hanya terbatas pada tindak pidana tertentu, bukan tindak pidana berat. Adapun kriteria penerima amnesti meliputi pengguna narkoba dengan kepemilikan dibawah 1 gram dan bukan sebagai pengedar atau bandar, warga binaan yang berusia di atas 70 tahun, penderita penyakit kronis atau HIV/AIDS, gangguan jiwa, disabilitas mental, ibu hamil atau ibu yang memiliki anak balita.
Kepala Lapas Kelas I Malang, Teguh Pamuji menjelaskan bahwa pemberian amnesti kepada WBP berdasarkan Keppres RI Nomor 17 Tahun 2025 yang ditandatangani oleh presiden. Dalam penjelasannya, ia menyatakan bahwa pihak lapas telah mengajukan dua orang WBP untuk mendapatkan amnesti dan disetujui. Kedua orang tersebut kini telah resmi dibebaskan.
Menurut Teguh, kedua WBP yang bebas karena amnesti ini terjerat kasus tindak pidana terhadap perempuan dan anak (PPA). Mereka masuk dalam kategori kemanusiaan karena memiliki riwayat penyakit skizofrenia. Proses pembebasan ini dilakukan sesuai dengan persyaratan dan ketentuan yang berlaku. Semoga hal ini menjadi awal yang baik bagi mereka untuk memperbaiki diri dan menjadi pribadi yang lebih baik.
Sementara itu, Kepala Lapas Perempuan Kelas II A Malang, Yunengsih mengungkapkan bahwa ada satu WBP yang diusulkan dan berhak memperoleh amnesti. WBP penerima amnesti adalah seorang perempuan berinisial J yang telah berusia 74 tahun. Sebelumnya, ia divonis empat tahun penjara atas kasus pemalsuan surat atau keterangan palsu.
Yunengsih menambahkan bahwa proses pemberian amnesti ini dilakukan secara transparan. Kebijakan ini sejalan dengan arahan presiden, terutama dalam memberikan pengampunan kepada WBP yang berusia di atas 70 tahun. Hal ini dilakukan dengan mempertimbangkan aspek kemanusiaan serta kondisi kesehatan dan sosial yang dialami oleh warga binaan berusia lanjut.
Lewat amnesti ini, tidak hanya dimaknai sebagai pengampunan hukum, tetapi juga sebagai titik balik untuk memperbaiki diri. Ini juga menjadi pengingat bahwa setiap individu memiliki kesempatan kedua untuk memperbaiki hidup selama ada niat dan kesungguhan. Dengan demikian, pemberian amnesti bukan hanya sekadar penghapusan hukuman, tetapi juga kesempatan untuk kembali ke jalan yang benar dan bermanfaat bagi masyarakat.