Sifat ghurur bisa menipu iman dan keyakinan seseorang. secara lahiriyah seperti dalam ridha Allah, tetapi sejatinya dilaknat Allah karena tertipu hawa nafsu
Oleh: Kholili Hasib
InfoMalangRaya.com | SEJATINYA perkara yang menjadi sebab segala kerusakan manusia adalah hawa. Yaitu syahwat yang berlebihan, tidak terkontrol sehingga melanggar batasan-batasan syara’. Hawa merupakan sammun qatil (racun yang mematikan), yang membunuh jiwa berakal (natiqah) manusia.
Termasuk dalam ibadah, hawa selalu menjadi racun yang merusak ibadah hamba Allah Swt. Hawa bekerja di bawah kendali dan kontrol setan.
Ia bertujuan agar manusia itu merugi (khasir) di akhirat. Baik dengan ibadahnya maupun dengan maksiatnya. Jadi, hawa bisa menyelinap ke dalam ibadah seseorang.
Justru hawa yang menyelinap ke dalam ibadah jauh lebih sulit dikenali dan disembuhkan. Sebab, hawa mengubah penampilannya seakan-akan mengajak kepada takwa, padahal hawa itu sedang mengajak kepada maksiat dan inkar kepada Allah Swt.
Pada suatu hari Nabi Muhammad ﷺ masuk masjid. Tiba-tiba beliau melihat setan sedang berdiri di pintu masjid menghadap arah kiblat. Nabi ﷺ bertanya kepada setan: “Wahai setan, apa yang Anda lakukan di situ?”. Setan menjawab: “Aku akan merusak shalatnya orang-orang yang sedang shalat di sini. Hanya saja aku takut dengan satu lelaki yang sedang tertidur ini”.
Nabi ﷺ bertanya: “Kenapa kamu tidak takut dengan orang yang sedang shalat itu. Justru kamu takut dengan lelaki yang sedang tertidur, padahal ia sedang tidak sadar dan tidak dalam beribadah kepada Allah Swt”. Setan menjawab: “Orang yang sedang shalat ini adalah orang bodah. Mudah sekali untuk mengganggunya. Tapi orang yang sedang tidur ini memiliki ilmu. Sulit ditaklukkan”.
Hadis tersebut menunjukkan bahwa betapa banyak orang jahil yang tidak mengerti ilmu mengabdi kepada Allah Swt seakan-akan dengan baik-baik saja. Padahalbibadahnya menjadi sia-sia.
Gara-gara hawa yang membakar jiwanya, maka seseorang bisa bermaksiat kepada Allah Swt melalui bentuk ibadah. Imam al-Ghazali membahas persoalan ini dalam Kitabu Dzaam al-Ghurur di Ihya’ Ulumuddin.
Menurut Imam Al-Ghazali, orang seperti itu disebut tertipu. Hawa membawa sifat ghurur (tipu daya).
Ghurur bisa masuk melalui berbagai jalan dan pintu. Termasuk melalui pintu-pintu kebaikan, yaitu: ilmu, ibadah, dan taﷺ uf.
Sifat ghurur menipu manusia sehingga yang munkar terlihat ma’ruf. Karena secara lahiriyah merupakan perkara ma’ruf. Tetapi disebabkan oleh racun hawa, maka kebaikan itu berubah menjadi munkar.
Seperti dicontohkan oleh Imam al-Ghazali, seorang pendakwah (wa’idz) yang gila popularitas (syuhroh) dan kedudukan (jah). Kegiatan dakwah (menyampaikan mauidzah) kepada orang merupakan kebaikan.
Tetapi disebabkan hawa yang membakar jiwa sehingga kegiatannya bukan karena Allah Swt tetapi untuk mendapatkan popularitas dan kehormatan di hadapan manusia. Niat yang rusak menjadikan dia pendakwah yang rusak.
Maka, wa’idz yang demikian lebih mengikuti kehendak manusia dalam mauidzahnya. Bukan mengikuti kehendak dan keinginan Allah Swt.
Secara lahiriyah terlihat tidak ada yang masalah. Karena manusia melihatnya sebagai sesuatu yang tetap dan cocok bagi diri mereka. Akibatnya ia populer bagi penduduk bumi, tapi buruk bagi penduduk langit.
Ini karena sang wa’idz meremehkan dan bahkan melalaikan perkara penting. Ia sibuk dengan perkara lain yang tidak penting atau kurang penting.
Misalnya meninggalkan fardhu (wajib), dan sibuk dengan perkara nafilah (sunnah). Sibuk dengan urusan kulit, tapi meninggalkan isi.
Agar kegiatan mauidzah itu menjadi pahala dan bermanfaat, maka sang wa’idz mesti mengenali terlebih dahulu mana perkara tidak penting dan sangat penting, perkara yang harus didahulukan dan mana perkara yang mesti ditunda.
Dalam bidang ilmu, penting untuk dikenali mana ilmu yang fardhu dan tidak fardhu. Mana pengetahuan yang penting dan tidak penting.
Sebab tidak semua ilmu itu penting. Ada kadar dan derajatnya.
Kegiatan dalam bidang ilmu adalah mulia. Akan tetapi bisa berubah menjadi kemungkaran apabila tidak memperhatikan hal demikian.
Dalam bidang ibadah, Imam al-Ghazali juga menyebut ada golongan yang tertipu dengan puasanya. Ada golongan yang berpuasa pada hari-hari yang dimulyakan dan dianjurkan.
Akan tetapi, mereka tetap tidak berpuasa lidahnya dari mengumpat, ghibah dan perkataan-perkataan kotor, matanya juga tidak berpuasa dari melihat sesuatu yang diharamkan Allah Swt.
Puasanya hanya puasa perut dan seks. Karena secara lahiriyah mereka berpuasa, maka mereka menyangka dirinya orang baik, padahal dirinya rusak.
Sifat ghurur ini bisa menipu iman dan keyakinannya. Secara lahiriyah seperti dalam ridha Allah, tetapi sejatinya sedang dilaknat oleh Allah.
Perkara yang terlihat mata adalah ibadah, namun sesungguhnya sedang bermaksiat. Menurut Imam al-Ghazali mereka merasa dirinya paling hebat dalam beribadah.
Tapi ia tidak mengerti bahwa ibadahnya sia-sia. Mereka biasanya lebih terpaku pada perkara dzahir dan meremehkan batin.
Penyakit batin bukan hanya membuat amalnya tidak bernilai, melainkan juga merusak dirinya. Padahal, Islam ingin mewujudkan keseimbangan antara amalan lahir dan batin, yaitu ibadah yang banyak dan berkualitas serta kesucian hati.*/Bangil, 11 Ramadhan 1444 H
Penulis adalah dosen di INI-DALWA, Bangil