Prof. Kahar Mudzakkir menjadi bagian tonggak sejarah Indonesia yang sejak mudanya sangat peduli terhadap masalah Palestina. Sampai akhir hayatnya ia selalu mendukung perjuangan rakyat Palestina dalam merebut kemerdekaan
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal InfoMalangRaya (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
InfoMalangRaya.com | KEPEDULIAN Indonesia terhadap masalah Palestina, di antaranya bisa dilihat dari figur Prof. KH. Kahar Mudzkkir. Untuk mengungkap perannya sejak muda, bisa dibaca dalam buku “Prof. K.H. Abdul Kahar Mudzakkir: Riwayat Hidup dan Perjuangan” karya Thasadi yang terbit pada tahun 1986 dan beberapa buku dan majalah yang akan penulis sebutkan pada tulisan ini.
Ketika dihelat Muktamar Islam sedunia di Palestina pada tahun 1931, beliau menjadi peserta termuda mewakili Indonesia dan ditunjuk sebagai sekretaris kongres. Sedangkan Pimpinan Kongresnya adalah Syeikh Amin Al-Husaini.
Perjumpaan ini sangat mengesankan, karena di samping membahas masalah perjuangan Palestina, juga ada dukungan untuk kemerdekaan Indonesia. Dukungan ini terus bergaung setiap ada pertemuan internasional.
Dalam buku “Al-Irsyad Mengisi Sejarah Bangsa” (1996) karya H. Hussein Badjerei dijelaskan cikal bakal pengutusan ini berdasarkan Kongres Al-Islam ke-9 di Malang. Dan pada waktu itu, yang ditunjuk untuk menjadi utusan Umat Islam Indonesia adalah Kahar Mudzakkir.
Dalam surat kabar Mustika No. 129 (Sabtu, 3 Oktober 1931) diberitakan dukungan dari berbagai ormas Islam untuk pembiayaannya. Di antara perhimpunan yang turut menyumbang: Muhammadiyah (f 20), Wal Fadjri (f 20), Arrabithah Alawiyah (f 20), J.I.B (f 20), Arabich Verbond (f 20), Al-Irsyad Surabaya (f 20), Persyerikatan Ulama Madjalengkan dan lain sebagainya.
Prof. Rasjidi, ketika mengenang KH. Kahar Mudzakkir pada tahun 1930-an ketika masih jadi mahasiswa di Mesir, menulis:
“Pada periode tahun 1930 an di Kairo dan Timur Tengah orang-orang mengenal dan bersimpati kepada Indonesia, karena aktivitas Abdul Kahar, sehingga merupakan ‘lambang’ atau ‘personifikasi’ Indonesia di Timur Tengah.”
Bahkan apa yang dilakukan Kahar muda, layaknya seorang yang bertugas menjadi Duta Indonesia di luar negeri.Sejak jadi mahasiswa di Kairo itulah, menurut catatan Tashadi, “Ia juga aktif di dalam perjuangan untuk Palestina, yang ketika itu masih berada dalam mandat Inggris bersama dengan Yordania.”
Sebuah gambaran anak muda yang disamping punya perhatian besar terhadap kemerdekaan bangsa Indonesa, tapi di saat yang sama juga peduli terhadap masalah Palestina yang kemerdekaanya sedang digerus orang-orang Yahudi bersama kolonial.
Di Mesir, Kahar Mudzakkir muda tinggal di rumah pelayan di suatu terace building milik Kementerian Wakaf Mesir. Di sinilah beliau bersama para mahasiswa Indonesia sibuk menerima tamu dari berbagai negara termasuk Palestina.
Ini menunjukkan, sejak muda peran-perannya sudah sangat signifikan, baik untuk bangsa Indonesia dan Palestina.
Ketika pada tahun 1931 Kahar menjadi wakil Indonesia dalam Muktamar Islam Sedunia, maka itu tidak begitu mengherankan sebab bila dilihat dari aktivitasnya yang padat untuk kepentingan bangsa Indonesia dan Palestina, maka sangat layak –meski masih muda—untuk mendapatkan kehormatan mewakili Indonesia.
“Kongres Islam di Palestina pada tahun 1931 bagi bangsa Indonesia yang terjajah merupakan suatu tonggak sejarah. Jika alamarhum Tjokroaminoto dan K.H. Mansur telah mewakili umat Islam Indonesia dalam konperensi yang diadakan oleh almarhum Raja Abdul Aziz, Ibnu Saud pada 1926, maka pemuda Abdul Kahar Mudzakkir dengan inisiatifnya sendiri menghubungi Partai Syarikat Islam Indonesia dan berhasil mewakili Indonesia dalam muktamar di Pelestina,” tulis Thasadi.
Bayangkan, di usianya yang masih muda, ia sudah berani menghadapi seluruh struktur kolonial Hindia Belanda pada tahun 1930. Tepatnya pada saat Perdana Menteri Colyn.
Segala rintangan dan risiko diterobos olehnya sampai berhasil menjadi wakil Indonesia dalam Muktamar Islam Sedunia di Palestina 1931. Maka tidak berlebihan jika apa yang dilakukan oleh Kahar Mudzakkir sebagai tonggak sejarah hubungan manis Indonesia dan Palestina (dengan Syekh Amin Al-Husaini-nya) yang sama-sama peduli terhadap masalah perjuangan merebut kemerdekaan.
Apa ketika Indonesia sudah merdeka, Kahar Mudzakkir lantas berhenti kepeduliannya terhadap Palestina yang masih terjajah? Sama sekali tidak surut, bahkan terus menyala di dalam relung hatinya. Dalam Harian Umum Kedaulatan Rakjat No. 324 (IX/Selasa, 8 Juni 1954) Kahar Mudzakkir di Yogyakart menyambut dengan baik anggota Panitia Keselamatan Palestina (Prof. Amjad Yuhawi dan Ali Thanthawi) yang kala itu diantar Menlu Tajuddin Yusuf dan utusan Kementrian Agama, Saleh Suaidy.
Selain itu, pada tahun 1969, berdasarkan keterangan Majalah Kiblat (No.7/XVII/1969: 46), Kahar Mudzakkir bersama Muhammad Natsir, H. Anwar Tjokroaminoto, KH. Abdul Mu’thi, KH. Ahchamd Buchari masuk dalam Susunan Pengurus Pimpinan Pusat Badan Pembela Al-Masjid Al-Aqsha (PP BPMA).
Di antara peran konkret Badan Pembela Al-Masjid Al-Aqsha (BPMA) misalnya pada tahun 1971 (Baca: Majalah Kiblat 16/XVIII/1971) telah mengirimkan secara bertahap total uang 7.000 $ untuk obat-obatan, pembelian ambulan, dukungan untuk mujahid, dan korban penindasan baik umat Islam atau umat beragama lainnya.
Fakta yang lain bisa dibaca dalam keterangan H. Ahmad Basuni berikut: “Pada suatu ketika ia menganjurkan agar dibuka ‘kotak sumbangan’ melalui Masa Kini unuk menyatakan solidaritas kepada perjuangan kebenaran dan keadilan bangsa Arab melawan ‘Israel’ dan membantu korban perang pembebasan Palestinda dan Masjidil Aqsha.”
Rupanya, anjurannya itu tak sekadar teori. H. Ahmad Basuni melanjutkan, “Ia sendiri mengambil dari saku bajunya dua lembar kertas ribuan sebagai penyumbang pertama.”
Sebuah contoh teladan seorang pemimpin yang harus di garda depan dalam memberikan keteladanan untuk umat. Bukan sekadar bisa mengajak, tapi juga mau bertindak.
Tak cukup sampai disitu. Kahar Mudzakkir juga menganjurkan dibentuknya Panitia Pembantu Kurban Perang Palestina dan Masjidil Aqsha.
Alhamdulillah kegiatan itu terwujud dan bisa mengumpuljan sumbangan uang. Kemudian sumbangan itu –melalui Pimpinan Harian Masa Kini dan Kahar—diserahkan kepada Kedutaan Besar Mesir dan Suriah.
Aktivitas-aktivitas kepedulian Palestina tidak berhenti sampai di sini. Pada tahun 1970, ketika diundang oleh Pemerintah Republik Arab Libya (12-17 Desember) untuk menghadiri Muktamar Da’wah Islamiyah, beliau menyempatkan diri setelah acara itu untuk menghadiri Muktamar Palestina Pusat di Aman (Yordania).
Di antara keputusan yang dihasilkan dalam kongres, “Kongres menuntut kepada ummat Islam, baik pemerintah maupun rakyatnya, dan kesadaran kemanusiaan (hati nurani manusia) di seluruh dunia untuk berusaha dengan sungguh dans ecara produktif, untuk membersihkan tanah Arab dari Zionisme, dan menyokong rakyat Palestina untuk kembali ke tanah airnya dan melaksanakan haknya yang alami (natural).”
Lebih spesifik beliau menghadiri Konferensi Lima Organisasi Islam Internasional di Gedung Rabithah Alam Islami di Makkah (11-19 Februari 1971), yang di antara keputusan tentang Palestina:
“Membantu pejuang-pejuang Palestina yang perjuang di jalan Allah dengan segala bantuan moril dan materil.”
Selain itu, juga menyerukan pembebasan Palestina dan menyelamatkan Masjidil Aqsha dari pendudukan Kaum Zionis.
Dari beberapa data ini, tidak berlebihan jika Prof. Kahar Mudzakkir menjagi badian tonggak sejarah Indonesia yang sejak mudanya sangat peduli terhadap masalah Palestina. Sampai akhir hayatnya –baik materil dan moril– selalu mendukung perjuangan rakyat Palestina merebut kemerdekaannya.*/Mahmud Budi Setiawan