Kripto Sebagai Agunan di Bank: Pro dan Kontra
Penggunaan aset kripto sebagai agunan dalam sistem perbankan menjadi topik yang menarik perhatian berbagai pihak. Usulan ini mulai muncul dari kalangan pelaku usaha kripto, dengan harapan bisa memberikan alternatif baru dalam pengajuan pinjaman.
Christopher Tahir, co-founder Cryptowatch dan pengelola channel Duit Pintar, menyampaikan bahwa OJK dan lembaga perbankan perlu mempertimbangkan aset kripto yang layak digunakan sebagai jaminan. Menurutnya, meskipun usulan ini bisa diterima, namun harus dibatasi agar tidak terjadi risiko yang besar.
“Banyak aset kripto yang tidak memiliki nilai nyata, sehingga potensi kehilangan nilai juga tinggi,” ujar Christopher. Ia menjelaskan bahwa di negara-negara yang telah menerapkan aset kripto sebagai agunan, biasanya pencairan pinjaman berkisar antara 50% hingga 70%, tergantung pada kualitas aset tersebut.
Aset kripto yang sering digunakan sebagai agunan adalah Bitcoin, Ether, USDT, atau USDC. Sementara itu, aset lainnya jarang diterima karena kurang stabil dan minim permintaan.
Jenis Pinjaman dan Mitigasi Risiko
Dalam praktiknya, tenor pinjaman bisa disepakati antara bank dan nasabah. Untuk mengurangi risiko, bank dapat melakukan likuidasi aset jika harga turun hingga batas tertentu. Hal ini dilakukan untuk melindungi kepentingan pihak bank dan nasabah.
Calvin Kizana, CEO Tokocrypto, menjelaskan bahwa di beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Eropa, sudah ada platform fintech serta bank digital yang menawarkan produk pinjaman berbasis aset kripto. Contohnya adalah BlockFi dan Nexo, yang menawarkan pinjaman dalam bentuk dolar dengan Bitcoin atau Ethereum sebagai agunan.
Di Singapura, sejumlah perusahaan keuangan terdaftar juga menawarkan layanan serupa, tetapi dengan pengawasan ketat dari regulator setempat. Praktik ini menunjukkan bahwa meski memiliki potensi untuk memberikan manfaat bagi ekosistem keuangan, implementasinya tetap membutuhkan regulasi yang matang dan infrastruktur risiko yang kuat.
Potensi dan Tantangan
Meski demikian, penggunaan aset kripto sebagai agunan tetap menghadapi tantangan. Salah satunya adalah volatilitas harga yang tinggi. Harga kripto bisa berfluktuasi secara drastis dalam waktu singkat, sehingga memperbesar risiko bagi pihak yang memberikan pinjaman.
Selain itu, masalah regulasi juga menjadi isu utama. Di banyak negara, aset kripto belum sepenuhnya diatur oleh otoritas keuangan, sehingga memicu ketidakpastian dalam penerapan praktik ini.
Namun, jika dikelola dengan baik, penggunaan aset kripto sebagai agunan bisa membuka peluang baru bagi para pemilik aset kripto. Mereka bisa memanfaatkannya sebagai modal tambahan tanpa harus menjual asetnya secara langsung.
Kesimpulan
Secara keseluruhan, penggunaan aset kripto sebagai agunan di bank masih dalam proses evaluasi dan pengembangan. Meski ada pro dan kontra, langkah ini menunjukkan adanya inovasi dalam sistem keuangan modern. Namun, penting untuk memastikan bahwa semua pihak terlibat, termasuk OJK dan bank, memiliki kerangka kerja yang jelas dan aman untuk mencegah risiko yang tidak terduga.