Tujuh Pesan Buya Gusrizal untuk Dai Milenial

Antusias masyarakat menutut ilmu, khususnya di kalangan milenial, tak lain karena metode dakwah saat ini cenderung intertertainmet (hiburan) dan mengikuti zaman, inilah pesan-pesan Buya Gusrizal
oleh: Wandi Bustami, Lc MAg
InfoMalangRaya.com | KEBERHASILAN sebuah dakwah tak lepas dari keberadaan pada dai (juru dakwah) dan pembinaan. Di bawah ini pesan-pesan penting Buya Dr. H. Gusrizal Gazahar, Lc. Mag, Ketua MUI Sumatra Barat baru-baru ini kepada penulis, khususnya terkait tugas penting dai milenial.

Dakwah Berbasis Kaum
Seorang da’i dituntut untuk mampu mendidik sekaligus mengayomi suatu masyarakat agar tercipta ikatan batin yang kuat antar keduanya. Keberhasilan sebuah dakwah tak lepas dari keberadaan suatu kaum yang telah dibina dengan nilai-nilai keimanan. Awal mula yang dilakukan baginda Rasulullah ﷺ setiba di Kota Madinah ialah membentuk sebuah komunitas.
Dimana menyatukan (Ittihad) antara kaum Aus dan Khazraj yang sudah bersiteru sekian lama langkah kongkrit yang ditempuh, dan mempersaudarakan kaum Anshor dengan Muhajirin menjadikan dakwah semakin mengakar. Dari komunitas ini kemudian diharapkan dapat menjadi perpanjangan lisan ke generasi berikutnya.
Untuk mewujudkan misi mulia itu, sudah semestinya seorang da’i memiliki surau (masjid) terlebih dahulu sebagai wadah meluapkan ide, gagasan dan pikiran yang kemudian ditularkan ke setiap individu. Di ranah Minang terdapat sebuah ungkapan yang sangat popular; “Setiap surau (masjid) memiliki seorang buya, dan setiap buya memiliki surau” (tidak ada surau yang tidak ada ulamanya, dan tidak ada ulama yang tidak memiliki surau).
Adagium di atas senada dengan firman Allah, dimana setiap da’i harus memberi peringatan kepada kaumnya untuk dibina dan dididik. Allah swt berfirman:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوْا كَاۤفَّةًۗ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَاۤىِٕفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوْا فِى الدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ اِذَا رَجَعُوْٓا اِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَࣖ
“Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya jika mereka telah kembali agar mereka dapat menjaga dirinya.” (QS. At-Taubah 9: Ayat 122).
Kaum yang dimaksud ialah sebuah komunitas yang telah dibina dengan nilai-nilai keimanan dan keikhlasan kepada Allah swt. Qotadah berkata: “Apabila Rasulullah ﷺ mengirimkan pasukan, Allah memerintahkan kepada kaum muslim agar pergi berperang, tetapi sebagian dari mereka harus tinggal bersama Rasul ﷺ untuk memperdalam pengetahuan agama. Sedangkan segolongan yang lainnya menyeru kaumnya dan memperingatkan mereka akan azab-azab Allah yang telah menimpa umat-umat sebelum mereka”. (Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim,4/235).

Dakwah Cenderung Entertain
Dewasa ini dakwah dikemas dengan format yang elegan, rapi dan menarik. Sehingga euforia umat terhadap ajaran Islam naik drastis. Eskalasi itu dapat dilihat menjamurnya majlis-majlis ilmu baik berskala lokal maupun nasional.
Di balik antusias masyarakat yang begitu tinggi dalam menutut ilmu, ternyata belum mampu menghadirkan keislaman yang hakiki. Hal itu ditengarai dakwah lebih cenderung ke arah entertain, dimana seorang da’i tidak memprioritaskan isi, tapi fokus kepada penampilan yang terkadang mengobarkan nilai-nilai luhur agama.
Di sisi lain, dakwah berbasis show itu mendapatkan sambutan hangat dan mampu mendongkrak popularitas dalam waktu yang singkat. Dimana da’i-da’i diundang ke banyak tempat dan hadir di berbagai acara.
Mereka diminta untuk bicara segalanya sebab sudah terlanjur dianggap hebat. Betapa hari ini seorang yang awam dengan cepat melejit menjadi seorang da’i kondang dan panutan tanpa melihat siapa orang itu.
Umat silau dengan kepiawaian dalam mengolah kata-kata, seakan mereka manusia tersihir.
Keberhasilan sebuah dakwah tidak pernah diukur seberapa ramai followernya, siapa yang berani mengatakan Nabi Nuh, Isa, Zakariyah dan beberapa nabi bani Israil gagal dalam berdakwah disebabkan sedikitnya pengikut?
Hal yang terpenting dari sebuah dakwah ialah pengamalan meski hanya diikuti segelintir orang atau satu orang.
Rasulullah ﷺ bersabda: Rasulullah ﷺ berkata kepada Ali bin Abi Thalib: “Demi Allah, sesungguhnya Allah Ta’ala menunjuki seseorang dengan (dakwah)-mu maka itu lebih bagimu dari unta merah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Apabila niat dakwah hanya untuk mencari keuntungan duniawi yang bersifat sesaat, maka tidak menutup kemungkinan nilai-nilai dakwah akan terciderai dan rusak. Bahkan bukan hanya itu, ia akan menggeser dari prinsip-prinsip dasar agama yang fundamental.
Sudah bukan rahasia umum lagi, dakwah hari ini lebih mementingkan casing daripada isi, terkadang subtansi jauh dari yang apa diharapkan. Jika ini terus dibiarkan apalagi mendapat pembenaran, dan tidak ada langkah nyata untuk mengubah ke arah yang lebih baik, maka nilai dakwah di masa mendatang akan lenyap di negeri ini.

Membangun Umat
Model dakwah Nabi Muhammad ﷺ sangat jelas, yaitu membangun umat dan memperhatikan keadaan masyarakat yang mengitari.
Rasulullah ﷺ tidak pernah meninggalkan kota Madinah Al Munawwarah kecuali dalam dua keadaan: Haji dan Jihad. Karena memang seorang pendidik sejatinya tidak boleh meninggalkan “gawang”nya.
Mengapa hal itu perlu dilakukan?
Karena hakikatnya seorang guru didatangi bukan mendatangi. Jika seandainya suatu kaum tidak memiliki ulama, maka mereka bisa mengutus orang terbaiknya untuk belajar.
Yang kemudian pulang memperingati kaumnya. Oleh karenanya, seorang da’i harus memiliki basis sebagai benteng pertahanan.

Tidak Pindahkan Fatwa Satu Negeri ke Negeri lain
Pesan guru saya; “Jangan pindahkan fatwa saya ke negerimu” maksudnya jangan begitu saja menerapkan fatwa yang telah disampaikan ke keluargamu karena masing-masing daerah dan peristiwa ada situasi dan kondisi yang meliputinya.
Di sini seorang da’i dituntut untuk cerdas dan bijak dalam membaca situasi dan kondisi. Seorang da’i harus mampu memilih fatwa-fatwa yang bisa diterapkan di negerinya.
Tidak asal sadur dan sampaikan apalagi yang penting bisa jawab sehingg terlihat hebat. Karena fatwa-fatwa yang tidak sesuai dengan suatu kondisi masyarakat dapat merusak keadaan.

Hargai Da’i Fakih Setempat
Pandai-pandai menghargai da’i fakih tempatan sebab mereka lebih mengerti problematika yang dihadapi masyarakat yang mengitarinya. Seorang da’i kondang yang datang ke sebuah negeri belum tentu mengerti persoalan-persoalan yang berlaku di masyarakat tersebut.
Karena dia tidak melihat, mengamati dan mencermati setiap keadaan yang terjadi.
Maka di sini, seorang da’i yang menyambangi da’i lainnya mesti memiliki adab. Bertanya dan bersilaturahmi merupakan langkah yang harus ditempuh sebelum menyampaikan ceramah.
Bertanya tujuannya agar apa yang sudah disampaikan oleh da’i fakih tempatan tidak lagi diulang-ulang, atau merusak apa yang sudah difatwakan.
Acap kali terjadi kehadiran para da’i tersebut justeru bukan mencerahkan, tapi mengusutkan. Satu jamaah dengan jamaah lainnya saling menuding paling benar.
Karena ia dianggap lebih hebat dan unggul di banding da’i fakih tempatan tersebut. Padahal jika ada yang sakit dan meninggal, yang pertama kali mengurus jenazahnya ialah da’i tempatan itu.
Hari ini kita lihat bahwa betapa da’i yang masuk ke daerah lain tidak membaca keadaan itu. Sehingga apa yang disampaikan kontra produktif. Nilai-nilai ini sudah mulai tergerus dari dunia islam.

Dakwah Dirusak Umat Sendiri
Hari ini seorang ulama dengan mudah disetir oleh penguasa dan orang-orang yang memiliki kepentingan sesaat. Antar ulama diadu dan dibenturkan.
Tak jarang seorang yang alim cenderung mengikuti selera penguasa untuk mengamankan nasi periuknya. Imam al-Ghazali berkata:
“Rusaknya para masyarakat karena rusaknya penguasa, dan rusaknya penguasa karena rusaknya ulama, rusaknya ulama karena cinta terhadap harta dan jabatan. Siapa yang terperdaya dengan dunia maka ia bisa mengawasi hal-hal kecil, lalu bagaimana pula ia mampu melakukannya kepada penguasa dan perkara besar?” (Amir an-Najar, Nazharatun fi fikri al-Ghazali, 32).
Jika diamati lebih jauh, masyarat hari ini rusak parah. Mulai dari tatanan paling bawah sampai paling atas. Narkoba merajalela, perzinahan, pembunuhan dan masih banyak kerusakan lainnya.
Mengapa hal itu terjadi? Karena penguasa selaku eksekutor diam seribu bahasa. Pertanyaan seriusnya adalah dimana ulama yang dekat dengan penguasa itu, bukankah dahulu mendukung habis-habisan?
Bukankah fatwa-fatwanya menguatkan mereka? Dimana mereka hari ini? Mengapa diam bak orang bisu?
Di sisi lain, orang jahil atau awam berani menghentikan dan menurunkan seorang da’i karena ketidaksukaannya, orang pintar diurus oleh orang-orang bodoh.
Ironisnya pengurus masjid menilai para da’i seperti barang, segala sesuatu diukur dengan materi. Di sini lah awal mula kerusakan. Dakwah dirusak oleh umat itu sendiri.

Dakwah Mengikuti Zaman
Dalam berdakwah harus terukur, terstruktur, terorganisir dengan baik. Memiliki modul atau kitab, cara yang baik dalam menyampaikan dan bijak serta arif dalam berpikir instrumen yang tidak boleh diabaikan.
Seorang da’i tidak boleh kaku dan monoton, ia harus mampu berinovasi dan berkreasi serta mengikuti perkembangan zaman. Dakwah mesti mampu menembus generasi muda yang senang nongkrong di cafe-cafe.
Hari ini anak-anak muda jauh dari masjid. Mereka tidak tertarik dengan ajaran luhur Islam. Seakan ada jarak pemisah yang jauh antar keduanya. Salah satu penyebab ialah da’i tidak mau membuka diri.
Tantangan bagi da’i hari ini tidak hanya datang dari internal seperti maraknya aliran sesat. Akan tetapi lebih dari itu, narkoba, LGBT, pluralisme agama dan pemahaman yang sekuler berhasil menembus ke seluruh aspek.
Di samping itu, orang-orang kafir sangat gencar dan terorganisir dalam menjauhkan umat dari agama Islam. Maka untuk itu, antar da’i butuh sinergitas dan berkolaborasi dalam mengentaskan berbagai persoalan yang menghantam umat.
Bukan sebaliknya, hubungan semakin renggang dan bahkan putus. Duduk bersama untuk bermuzakarah sudah mulai hilang.
Membicarakan persoalan umat lenyap sirna, warisan-warisan para ulama terdahulu tergerus dan terkikis habis. Padahal ruh daripada ajaran ini adalah keilmuan.
Oleh karenanya, jika dakwah ini ingin terus bertahan maka solusinya jalin hubungan antar sesama, jauhkan perselisihan, kesempingkan perbedaan, rangkul semua pihak, dan yang terpenting buang sifat dan kepentingan duniawi. Dengan demikian, apa yang kita harapkan berupa bangkitnya Islam tidak mustahil lahir di negeri kita ini.*
Buya Dr. H. Gusrizal Gazahar, Lc. Mag, merupakan ketua MUI Sumatra Barat yang sangat vokal dan peduli terhadap Islam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *